JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Dengan jumlah populasi wanita lebih dari 150 juta jiwa, Indonesia diperkirakan akan menjadi pasar kosmetik terbesar ke-5 di dunia dalam 10-15 tahun mendatang.
Agar potensi tersebut tidak sekedar menjadi sasaran industri global, Pemerintah mendorong program substitusi impor 35 persen di industri kosmetik pada 2022 mendatang.
Demikian disampaikan Fitria Rahmawati, Fungsional Analis Kebijakan Muda Kemenperin dalam webinar “Strategi Memperkuat Penetrasi Produk Kosmetik Lokal di Pasar Domestik: Pentingnya Pengendalian Impor Kosmetik”, di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (3/6) siang.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh LPPM Universitas Nasional, Jakarta, bekerjasama ITBI Ahmad Dahlan Jakarta dan Public Trust Indonesia itu, Fitri menjelaskan alasan prediksinya Indonesia akan menjadi pasar kosmetik terbesar ke-5 di dunia.
“Penduduk Indonesia semakin sadar akan penampilan, make up dan perawatan diri menjadi gaya hidup,” jelas Fitri seraya menambahkan, meskipun mengalami perlambatan ekonomi, namun trend berbelanja kosmetik dan personal care di Indonesia terus meningkat.
Besarnya warga yang semakin sadar akan penampilan itu, menurut Fitri, menjadikan Indonesia diperebutkan oleh industri kosmetik global.
Ia menunjuk data nilai impor industri kosmetik yang terus meningkat dari 583,3 juta dollar AS (2016) menjadi 850,16 juta dollar AS (2018), dan sedikit turun menjadi 803,58 juta dollar AS (2019).
Sementara nilai ekspor produk kosmetik lokal hanya 470,3 juta dollar AS (2016), naik jadi 556,31 juta dollar AS (2018), dan turun sedikit menjadi 506,56 juta dollar AS.
Padahal, lanjut pejabat dari Kemenperin itu, ada sekitar 749 perusahaan industri kosmetik di tanah air yang menyerap 75 ribu tenaga kerja secara langsung dan 600 ribu tidak langsung, 95 persen di antaranya merupakan industri kecil dan menengah.
Direktur Pengawasan Badan POM, Arustiyono, Apt, MPH, dalam kesempatan tersebut menambahkan, selama tahun 2018 Badan POM menemukan kosmetik ilegal dan/atau mengandung bahan dilarang/bahan berbahaya senilai Rp128 miliar.
Pada tahun berikutnya jumlah ini meningkat menjadi Rp185,8 miliar berkat adanya intensifikasi pengawasan dan penindakan (termasuk online). Sementara saat pandemi Covid 19 di tahun 2020, jumlahnya menurut menjadi Rp69 miliar.