RUTIN setiap pagi, kuputar mekanik benda penunjuk hari, tanggal dan bulan, yang terletak di atas meja kerja almarhum Bung Hatta di perpustakaan pribadinya, Kamis 20 Mei 2021.
Tanggal itu melayangkan peristiwa 113 tahun lalu, ketika terjadi sebuah tekad Kebangkitan Nasional. Alat jadoel (jaman dulu) ini tetap berfungsi sekalipun sudah di era milenium ketiga yang serba digital.
Setidaknya, benda kenangan di kediaman seorang tokoh nasional seperti Bung Hatta ini, menyentak ingatan kita kepada sebuah milestone kesadaran berkebangsaan.

Bung Hatta. (foto: ist)
Pada awal abad ke-20, telah tumbuh semangat pada sekelompok anak rakyat Indonesia, untuk bertindak memperbaiki nasibnya agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Pada masa itu cengkeram penjajahan atas bumi Indonesia sedang kuat-kuatnya, karena tidak saja kamar dagang yang menguasai segala unsur dan sektor produksi hasil bumi, perkebunan dan tambang di bumi nusantara, tetapi juga seluruh wilayah nusantara telah dikuasai oleh sebuah pemerintah jajahan, yang adalah perwakilan pemerintah Kerajaan Belanda di Eropa.
Gubernur Jenderal bangsa Belanda adalah utusan atau kepanjangan tangan pemerintah Kerajaan Belanda.
Di bawah perkumpulan Budi Utomo yang digagas oleh Dr.Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh Dokter Soetomo, kaum muda terpelajar yang sekolah dokter di Gedung Stovia ini bertekad dalam aksi untuk mewujudkan cita-cita positif.
Penamaan atas perkumpulan ini saja sudah menunjukkan, mereka pentingkan sebuah akhlak luhur sebagai nahkoda untuk mengubah nasib. Kecendekiawanan mereka dipakai untuk memvisualisasikan kualitas yang tumbuh di atas jiwa kuat.
Ruh kebangkitan nasional kepada generasi pemuda-pemudi berikutnya, dapat disimak, antara lain melalui memoir Bung Hatta, yang beliau tulis sendiri secara bertahap dari tahun 1968 hingga terbitnya pertama kali di tahun 1976.
Autobiografi berjudul Untuk Negeriku dan dikeluarkan oleh Penerbit Buku Kompas itu menuturkan estafet perjuangan kebangsaan. Di Negeri Belanda, Mohammad Hatta yang sejak September 1921 menjadi anggota Perkumpulan orang-orang Indonesia di sana, mengungkapkan bahwa perkumpulan itu berganti pengurus pada tahun 1922.
Dokter Soetomo sebagai Ketua beserta anggota pengurus, menyelesaikan tugas dan diganti dengan kepengurusan baru. Nama perkumpulan tersebut masih Perhimpunan Hindia-Belanda (Indische Vereeniging). Ada beberapa masukan dari para tokoh senior di sana, mengenai perubahan nama menjadi Indonesische Vereeniging.