Bagaimana Menyikapi Lailatul Qodar (Habis)

Sabtu 08 Mei 2021, 08:00 WIB
Marullah Matali

Marullah Matali

Oleh : Sekretaris DKI Marullah Matali 

YANG kedua kita melihat Lailatul Qodar dari perspektif manusia, tidak ada orang yang tidak pernah salah, sengaja atau tidak sengaja, kecil atau besar, khilaf atau terpaksa. Setiap kita mesti pernah melakukan kesalahan kepada sesama manusia, juga kepada Allah.

Salah kita kepada Allah, kita bertaubat langsung kepadanya, sampai-sampai di hadis qudsi disebutkan :

Lau ‘amiltumul kho thoyaa hattaa mala-atis samaa’ tsumma nadimtum fataabal loohu ‘alaikum.

 Kalaupun kau berbuat dosa penuh langit dengan dosamu, lalu kamu menyesal, bertaubat, Allah pasti akan menerima taubatmu.

Lalu bagaimana taubat yang sebenarnya? Meninggalkan perbuatan jahat, berjanji tidak mengulangi lagi, menyesal pernah melakukannya. Inilah tiga syarat utama.

Pertama, meninggalkan perbuatan jahat itu, bertaubat dari minuman haram, tinggalkan total, bertaubat dari judi, tinggalkan total, bertaubat kepada Allah dari melakukan maksiat, tinggalkan secara total. Dan total, tidak angin-anginan. Kedua, berjanji tidak mengulangi, dan yang ketiga, menyesal melakukan itu.

Bukankah sering kita pernah dengar, “Ah saya sekarang sudah tua, dulu saya waktu muda sudah puas.” Bukan puas yang diminta, tapi menyesal kenapa melakukan itu dulu. Inilah taubat yang sebenarnya.

Orang yang beribadah Ramadan dengan baik dan melaksanakan taubat dengan benar dan diterima taubatnya, pantas dia keluar dari ramadan, masuk satu Syawal lalu masuk dalam golongan minal ‘aaidzin wal faizin. Masuk dalam golongan orang yang kembali, kembali kemana? Kembali kepada fitroh, suci  bersih, seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya tidak punya dosa kepada Allah, lantaran sudah dilebur oleh ibadah dan taubatnya dibulan ramadan.

Walfaaizin termasuk dalam golongan orang orang yang beruntung, tidak dalam artian materialistis, tapi  dalam artian, mendapatkan keberkahan dalam hidup, dapat keberuntungan di dunia, lebih lebih di akhirat.

Baca Juga:

Inilah Ramadan, di mana kita selalu mencari tambahan dari setiap amal yang kita lakukan, karena umur yang diberikan relatif pendek, dosa yang kita kerjakan relative banyak. Kalau neracanya tidak diimbangi dengan upaya mencari nilai tambah tadi, boleh jadi tidak akan ada keseimbangan dalam neraca hitungan kita dihadapan Allah subhanahu wata’ala. Padahal seimbang saja sudah rugi. Kita ingin dalam fa amma man tsaqulat mawaaziinuh. Orang yang berat timbangan kebaikannya. Bukan orang yang berat timbangan kejahatannya.

Oleh karena itu dalam setiap langkah dalam ramadaan ini, kita tetap berupaya mencari nilai tambah dari suatu amal, dan amalan itu bagaimanapun baiknya sudah kita kerjakan, tetap mengacu kepada faidzaa faroghta fanshob.

Kalau sudah selesai kau lakukan satu pekerjaan, singsingkan lengan bajumu, bersiaplah untuk tugas selanjutnya. Tidak ada puas , tidak ada prestasi puncak, bagaimanapun baiknya sudah kita kerjakan , itu adalah awal menuju arah yang selanjutnya. (*)

Berita Terkait

‘Santai’ ALLAH Bersama Kita (Seri-1)

Minggu 09 Mei 2021, 08:00 WIB
undefined

'Santai' Allah Bersama Kita (Habis)

Senin 10 Mei 2021, 08:00 WIB
undefined

Tafsir An Nisa 36 (Habis)

Rabu 12 Mei 2021, 08:00 WIB
undefined
News Update