Oleh : Sekretaris Daerah DKI Marullah Matali
BERKATA Syaikh Abdul Qodir al Jailani, “Aku lebih menghargai orang yang beradab, daripada orang yang berilmu. Jika hanya berilmu, iblispun lebih tinggi ilmunya dari pada manusia”.
Imam Syafi i bercerita, “Aku sangat hati-hati membuka lembaran kitab di hadapan guruku Imam Malik, khawatir bunyi kitabku terdengar oleh beliau dan mengganggunya. Kerendahhatianmu kepada gurumu, di situlah letak kemuliaanmu, khidmahmu pada gurumu, di situ keberkahanmu, kebanggaanmu pada gurumu, itulah letak keluhuranmu.
Di pesantren salaf dilatih betul adab terhadap guru. Kalau ada guru lewat, kita berhenti, kalo guru sudah masuk majelis atau masjid, santri buru buru membalikkan sandalnya, kalau guru datang, tidak berani ngobrol apalagi bercanda, cium tangan, tidak menempati tempat duduknya, tempat imamnya, ketika mau mendekat jalannya pun menunduk/membungkukkan badan bahkan ada yang sambil jongkok.
Itu semua dalam rangka menanamkan adab seorang murid terhadap guru, adab seorang anak terhadap bapak, adab terhadap orang yang mempunyai ilmu, bukan pengkultusan, tapi adab yang ditanamkan secara kontinyu.
Sekarang banyak yang lupa atau bahkan tidak tahu, adab terhadap orangtua, guru, maupun terhadap orang yang berilmu. Di masjid terkadang kita lihat juga, ada imam sedang berdzikir bersama menghadap makmum, tiba tiba ada salah satu jamaah salat sunnah di depannya imam, atau dekat dengan imamnya.
Bukankah imam masih duduk berdzikir? Apakah ada kesopanan, adab terhadap imam maupun makmum yang lain yang sedang berdzikir, bukankah imam adalah orang yang dimuliakan di masjid? Orang yang dimuliakan masih duduk, dia berdiri dekat imam? Adalagi setelah imam selesai dzikir, pindah tempat untuk salat sunnah ba’diyah, ternyata ada makmum yang pindah ke tempat imam untuk salat sunnah ba’diyah.
Apakah dia tidak punya malu dan tidak punya adab? Bukankah tempat imam adalah yang di muliakan? Adalagi, di masjid sedang ada kultum ramadan, ternyata dia membaca Qur’an dengan memperlihatkan kalau dia sedang baca Al Qur’an, bukankah orang yang sedang kultum adalah orang yang sedang dimulyakan? Agar jamaah mendengarkan taushiyahnya.
Adalagi, dia tidak punya bacaan yang bagus, dan bahkan masih belum bisa baca Al-Qur’an, datang ke masjid duduk dan berdiri sholat di belakang persis imam, bukankah orang yang dibelakang imam itu harus orang yang bisa menggantikan imam?
Bukankah shaf belakang persis imam juga tempat yang diprioritaskan? Bukankah seperti ini kurang beradab? Adalagi? silakan di tambah sendiri, dan share ke kami. Jadi adab itu sangat perlu di ajarkan, agar tidak sembrono. Bukankah iblis membantah ketika di perintah sang Maha Pencipta? Sehingga dia menjadi calon penghuni neraka? Karena tidak punya adab kepada Allah SWT, bukan karena tidak mengakui bahwa Allah tuhan semesta alam. Semoga kita menjadi manusia beradab, sehingga kita tidak mendapat adzab. Wallohu a’lam. (*)