SERANG, POSKOTA.CO.ID - Hingga saat ini Kejaksaan Tinggi Kejati Banten sudah memeriksa sebanyak tujuh orang dalam kasus pengadaan lahan Samsat Malingping.
Lima diantaranya merupakan pejabat Pemprov Banten, yang salah satunya adalah kepala Bapenda Provinsi Banten selaku Pengguna Anggaran (PA).
Selain ketujuh orang itu, Kejati juga sudah menetapkan satu orang tersangka, yakni kepala UPTD Samsat Malingping inisial SMD yang juga merangkap sebagai sekretaris panitia pengadaan.
Menanggapi hal tersebut pengamat kebijakan publik Ojat Sudrajat menilai, dalam kasus pengadaan lahan ini tidak ada indikasi dugaan korupsi atau mark up harga seperti yang disampaikan oleh Kepala Kejati Banten beberapa waktu yang lalu kepada awak media.
"Dari sisi mana Kejati melihat kasus ini ada dugaan korupsi dan mark up harga. Mengingat pembayaran lahan yang dilakukan oleh Bapenda itu merupakan hasil kajian dari tim jasa Apresial," katanya, Selasa (27/4/2021).
Pengadaan lahan Samsat Malingping terjadi di tahun 2019. Aturan tentang pengadaan lahan di Provinsi Banten telah diatur dalam Pergub Banten nomor 11 Tahun 2018 tentang pedoman tahapan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan pelaksanaan pengadaan tanah skala kecil di Provinsi Banten.
"Untuk pengadaan Lahan dibawah 5 hektar, diatur dan dimulai dari Pasal 55. Khusus mengenai harga harus dilakukan oleh jasa penilai atau tim Apresial independen," jelas Ojat.
Untuk pengadaan lahan Samsat Malingping, lanjutnya, Jasa Penilai dilakukan oleh KJPP KAMPIANUS & REKAN sedangkan untuk Jasa Feasibility Study (FS) dilakukan oleh PT. SAEBA KONSULINDO.
"Dalam hal ini saya melihat, yang seharusnya dilakukan pemeriksaan oleh Kejati Banten itu adalah tim Apresial ini yang merekomendasikan kepada Bapenda Provinsi Banten untuk membeli lahan tersebut dengan harga sekian. Karena posisi Bapenda dalam hal ini hanya melaksanakan apa yang telah ditetapkan oleh tim Apresial," ujarnya.
Ojat melanjutkan, berdasarkan informasi yang dihimpun, Jasa Penilai lahan Samsat Malingping membedakan harga antara lahan yang di pinggir jalan harganya lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang lebih dibelakang, sehingga tidak satu nilai.
"Harga awal lahan yang dipinggir jalan itu Rp800 ribu permeter, sementara yang masuk ke dalam Rp500 ribu permeter. Melihat angka itu, Bapenda kemudian melakukan penawaran, yang akhirnya jatuh pada satu angka yang sama, Rp500 ribu permeter," ungkapnya.