Oleh: Hasto Kristiyanto
Dalam perjalanan di Bandung Selatan, sosok muda Sukarno bertemu dengan seorang petani. Dalam dirinya, petani itu memiliki lahan sempit, dengan caping dan cangkul yang menjadi alat produksinya.
Petani itu berdaulat di dalam menggarap lahan kehidupannya. Tetapi mengapa ia miskin?
Sosok petani yang bernama Pak Marhaen itulah refleksi suara kebangsaan Bung Karno. Petani itu miskin, mewakili jutaan petani bumi putera lainnya, karena ia terjajah oleh tata pergaulan hidup yang menghisap.
Ia memiliki perasaan senasib, jiwa yang terjajah, dan oleh pendidikan politik yang memerdekakan, Sukarno menggelorakan harapan baru bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia untuk sadar, melek politik, dan menjadikan perasaan senasib sebagai bangsa terjajah bermetamorfose menjadi spirit kebangsaan.
Presiden Pertama RI, Soekarno. (arief)
Bukankah bangsa itu lahir dari perasaan senasib sepenanggungan? Bukankah bangsa itu mewujud dalam satu jiwa yang melekat dengan tanah airnya dimana kita hidup?
Bukankah yang namanya cacing saja, jika ia terinjak, maka cacing tersebut akan bergerak keluar dari penindasan? Apalagi sebuah bangsa. Bangsa yang sadar bahwa di dalam dirinya ada perasan rasa yang sama, dan juga bangsa yang sadar akan sejarah masa lalunya yang gilang gemilang tercermin melalui Sriwidjaya dan Majapahit yang menggores tinta emas peradaban dunia.
Bukankah suara kebangsaan itu menggugah seluruh nasionalisme kita dan secara sadar memimpikan untuk bisa berdiri dengan kekuatannya sendiri dengan jalan Pancasila? Karena itulah suara kebangsaan terus bergema, menjawab tantangan sejarah agar Indonesia merdeka, dan dibalik kemerdekaan itulah masyarakat adil dan makmur diperjuangkan.
Suara kebangsaan ini adalah suara rakyat kebanyakan, suara wong cilik, suara penuh harapan bagi kemajuan bangsanya.
Pertanyaaannya, bagaimana suara kebangsaan tsb ditangkap secara jernih dan menjadi landasan kebijakan pemerintahan negara?
Bagaimana suara kebangsaan tsb menjadi energi nasionalisme baru, yang keluar dari berbagai cara praktek politik liberal yang menghalalkan berbagai cara untuk memeroleh kekuasaan?