TAHUN lalu Lebaran nggak pulang kampung, berharap tahun ini bisa mudik. Masyarakat sudah ancar-ancar ada yang beli tiket jauh-jauh hari, ada yang sudah menyiapkan oleh-oleh buat famili di kampung. Lah, ternyata nggak boleh pulang kapung!
“Ya, kalau mau pulang ya, sekarang saja, sebelum ada larangan. Pas tanggal larangan pulang kampung, Bapak Ibu dan keluarga sudah di kampung, nah baliknya nanti pas tanggal larangan dicabut. Kan beres. Gitu aja kok repot?” ujar sahabat Bang Jalil dari jarak jauh.
Kata Bang Jalil, bisa saja begitu. Itu namanya ngakalin, tapi di kampung lama-lama, mau ngapain? Mau ikut menggarap sawah? Lah, sawah siapa? Mau jadi kuli macul, lha kan semuanya pada hengkang ke Jakarta karena menghindari jadi kuli pacul. Di ibukota mah seberat-beratnya kerja, di pabrrik misalnya, nggak berat banget kayak macul. Begitu kan?
Lalu ngapain, ngabisi tabungan? Tabungan yang mana, wong selama setahun ini kerja cari nafkah juga nggak karuan. Kerja dipecat, gegara Corona?
“Ya kalau begitu, itu larangan pemerintah benar juga adaya, nggak usah pulang kampung. Stand by ajalah di Jakarta dan sekitarnya. Sambil usaha sebisanya, kalau ada lebih kirim buat yang di kampung,” ujar sang sahabat.
“Lho, Bapak dan Ibu mau pulang kampung ke mana, sih?” tanya sahabat kemudian.
“Ke Kebayoran,” kata istri Bang Jalil.” Kampung saya kan di Kebayoran digusur, udah pada jadi apartemen dan mal. Saya dan keluarga tinggal di pinggiran Jakarta!”
“Ah, kirain kemana. Itu mah nggak usah resah Ibu,” kata sang sahabat.
“Bingung juga Pak. Masuk ke mal kan perlu belanja pakai duit. Masa mau numpang ngadem doang?” kata sang istri sambil ngeloyor.
Bang Jalil bungkam. (massoes)
.jpeg)
.png)
.png)
.jpg)
.jpg)
