Pengamat: Blunder Kebijakan dan Penganggaran di Pemprov Banten Diduga Karena Sekda

Rabu 07 Apr 2021, 09:23 WIB
Pengamat politik Universitas Sultan Agung Tirtayasa Untirta Serang Ihsan Ahmad (foto istimewa)

Pengamat politik Universitas Sultan Agung Tirtayasa Untirta Serang Ihsan Ahmad (foto istimewa)

SERANG - Beberapa bulan terakhir, Pemprov Banten dihebohkan dengan beberapa persoalan pelik terkait tata kelola pemerintahan serta keuangan daerah.

Persoalan tersebut seperti penyaluran DBHP ke Kabupaten dan Kota tahun 2020 yang belum diberikan, pinjaman SMI tahap dua yang terancam digagalkan, tidak tercapainya target indikator makro dalam RPJMD Provinsi Banten sampai pada persoalan tidak adanya blue print yang jelas terkait rencana pembangunan di Provinsi Banten.

Pengamat politik Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Serang Ihsan Ahmad mengatakan, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten Al Muktabar sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dinilai menjadi pangkal beberapa masalah besar di Provinsi Banten tersebut.

"Sehingga kemudian terjadi blunder kebijakan dan penganggaran di Provinsi Banten. Saya rasa ini diduga karena Sekda Banten," tegas Ihsan, Selasa (6/4/2021).

Ihsan melanjutkan, persoalan terkait tidak masuknya Dana Bagi Hasil (DBH) yang terutang kedalam anggaran 2021 oleh Pemerintah Provinsi Banten. 

"DBH yang terutang ini akibat adanya konversi kedalam penambahan modal ke Bank Banten oleh Pemprov Banten. Ini sangat aneh sekali, utang DBH ke Kabupaten/Kota tidak dimasukan kedalam anggaran 2021," ujarnya.

Selain itu, tambahannya, belum ber-agreementnya (kesepakatan) pinjaman dari PT SMI tahun 2021, namun sudah masuk kedalam APBD 2021.

Akibat belum agreementnya pinjaman dari PT SMI tahun 2021 atau tahap kedua sebesar Rp4,1 Triliun, pinjaman tersebut bisa terkena bunga sebagaimana ketentuan baru dari pemerintah pusat.

"Yang menjadi pertanyaan, masa PMK tersebut tidak terinformasikan ke Provinsi Banten. Sedangkan Provinsi Jawa Barat di akhir tahun 2020 sudah melakukan agreement untuk pinjaman tahun 2021," tukasnya.

Menurut Ihsan, apabila pinjaman itu terjadi bunga, maka kesalahan fatal dilakukan oleh Sekda Provinsi Banten selaku ketua TAPD. Karena fungsi penganggaran melekat dengan beliau. 

"Dimana selaku ketua TAPD harus bisa memahami secara keseluruhan produk hukum dalam proses penganggaran," ucapnya.

Ihsan menganalisa, Pemprov Banten tidak memiliki blueprint yang jelas untuk menopang program pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, atau biasa disebut dengan PEN. 

"Ini jelas sangat merugikan ekonomi masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah pusat. Padahal blueprint tersebut sangat penting agar kondisi ekonomi masyarakat cepat kembali," jelasnya.

Terakhir, tidak tercapainya target indikator makro dalam RPJMD Provinsi Banten seperti realisasi penduduk miskin yang target dalam RPJMD sebesar 5%, ternyata realisasi diatas 5%. Yang seharusnya capaian tersebut sama dengan atau di bawah 5%. 

Selanjutnya realisasi pengangguran terbuka, target dalam RPJMD itu 7,84%, sejak 2018 sampai 2020 realisasi diatats 7,84%. Harusnya realisasi pengangguran terbuka itu sama dengan atau dibawah 7,84%. Dan lainnya sama tidak tercapai.

"Karena secara manajerial pelaksanaan pencapaian target ada di Sekda Provinsi Banten selaku ketua TAPD. Dimana sistem perencanaan anggaran sangat berpengaruh besar terhadap capaian target tersebut," tutupnya. (kontributor banten/luthfillah)

Berita Terkait
News Update