Larangan Menikah Ngalor Ngulon dalam Masyarakat Jawa
Sabtu, 3 April 2021 12:18 WIB
Share
Ilustrasi Pengantin adat Jawa, dari cover buku Tata Cara Pengantin Adat Jawa, karya Ki Juru Bangunjiwo.

DEPOK – Sebagian masyarakat Jawa masih percaya dengan larangan menikah ngalor ngulon. Mereka berpandangan jika pernikahan ngalor-ngulon ini tetap dilakukan, maka kelak rumah tangga mereka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Karena pandangan yang sudah turun temurun ini, banyak pasangan yang sudah lama pacarana gagal menikah, gara-gara posisi tempat tinggal mereka dalam garis arah ngalor ngulon.

Ngalor ngulon adalah garis arah ke barat laut, seperti arah kiblat. Bagi yang percaya, maka akan menghindari menikah dengan pasangan yang posisi tempat tinggalnya dalam garis ngalor ngulon.

Di beberapa tempat menyatakan, hal ini berlaku bagi pihak laki-laki, yakni dilarang mencari istri yang rumahnya di arah ngalor ngulon.

Sebaliknya, untuk wanita juga dilarang untuk arah sebaliknya, kalau laki-laki dilarang nikah ngalor ngulon, sedangkan wanita dilarang menikah arah ngidul ngetan (harfiahnya arah selatan – timur, alias tenggara).

Seorang warga di Polorejo, Babadan, Ponorogo, bercerita, ibunya dulu pernah pacaran dengan pria tapi tak jadi menikah, gara-gara arah ngalor ngulon.

Pasangan itu tahu soal pantangan arah ngalor ngulon itu, sehingga memutuskan hubungan, terlebih desakan orang tua masing-masing juga sangat kuat. Akhirnya sang Ibu menikah dengan pria lain, bukan arah tersebut.

Ada lagi seorang pemuda di Jombang, oleh orang tuanya dilarang menikah dengan seorang gadis, gara-gara maslaah ngalor ngulon ini.

Tapi, ini agak lucu. Sebab, saat itu sang gadis hanya kos karena masih kuliah. Ya memang dari rumah pemuda itu ke arah tempat kos gadis arahnya ngalor ngulon, hanya saja rumah asli gadis itu di selatan Madiun.

Kalau di lihat di peta jelas arahnya ke Barat Daya. Ya begitulah, karena faktor kehati-hatian, orang tua pria tersebut melarang menikahi si gadis, gara-gara tempat kosnya galam garis ngalor ngulon dilihat dari rumah si pemuda.

Banyak lagi cerita orang yang mengurungkan niat menikah gegara ada pantangan ngalor ngulon tersebut.

Meski kedengerannya aneh dan tak masuk akal, tapi nyatanya masih banyak orang yang cintanya kepentok restu akibat larangan pernikahan ini sehingga gagal melenggang ke jenjang pernikahan. 

Tak sedikit, kedua orang tua dari kedua belah pihak sama-sama kompak menolak pernikahan tersebut. Mereka tak mau mengambil risiko mengundang petaka dalam kehidupan anaknya.

Lantas, apa latar belakang larangan atau pantangan itu.Secara singkat, ada yang menyatakan, pantangan itu sudah ada sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.

Lantas, ketika Islam masuk, bertambah tebal pantangan itu, karena dikaitkan dengan ujurnya jenazah dikuburkan.  “Ngalor ngulon kuwi ujure wong mati ,“ kata Mbah Sabar, di Desa Candirejo Kecamatan Sidorejo, Magetan.

Menurut Mbah Sabar, orang yang menikah ngalor ngulon maka akan mengghadapai berbagai bahaya dalam pernikahannya.

Sejak Prabu Watugunung 

Seorang sesepuh di Jenangan, Ponorogo, mengatakan, asal mula larangan menikah ngalor ngulon itu, muncul sejak jaman kuno, ketika itu jaman Prabu Watugunung di Kerajaan Keling.

Dia punya istri Namanya Dewi Sinto, yang kemudian memiliki anak sampai 27 anak. Dia juga punya adik bernama Landep. Sehingga dalam kerabat ini ada 30 orang, yang di kemudian hari dikenal sebagai hitungan wukon.

Menurut Mbah Cuk, suatu saat Prabu Watugunung ngobrol-ngobrol santau dengan istrinya, Dewi Sinto, hingga sampai masalah asal usul istrinya yang awet muda itu.

Alangkah kagetnya Prabu Watugubung, ternyata setelah dirunut ternyata sang istri merupakan ibunya sendiri. Sebelumnya, pasangan ini sama-sama tidak tahu, kalau ternyata ibu dan anak.

“Karena rasa malu, Prabu Watugunung langsung minggat, pergi jauh ke arah ngalor ngulon. Dan ketika sudah jauh, beliau mengeluarkan kata-kata:  Sapa sing rabi ngalor ngulon, kuwin dadi balaku (siapa yang menikah arah ngalor ngulon, itu jadi pengikutku). Bolo dalam arti negative,” ujar Mbah Cuk.

Dari situlah, lanjutnya, muncul pantangan menikah arah ngalor ngulon bagi kaum lelaki.

“Kalau kaum wanita arah sebaliknya, ngidul ngetan (tenggara),” katanya.
Tapi pantangan itu tidak berlaku untuk semua orang, ada kekhususan dan bolah melakukan pernikahan ngalon ngulon. 

“Yakni, bagi laki-laki yang kelahirannya pada wuku Watugunung bertemu jodoh wanita wuku Sinto, maka itu tidak dilarang, malah bagus sekali. Rumah tangganya akan langgeng, makmur, tentram,” katanya.

Namun, tentu sangat jarang dengan perjodohan dengan kekhususan seperti ini, mungkin hal itu pula menjadi kekhususan,

Memilih Hari Baik

Menurut Mbah Cuk, larangan ngalor ngulon itu juga tidak harga mati, bisa dilaksanakan, asal hari pernikahan dihitung dengan cermat menurut hitungan seperti dalam primbon Jawa.

Mencari hari baik itu, ia mengibaratkan, seperti orang beli baju di toko baju. Semua baju yang dijual di toko baju semua bagus. 

“Tapi kita harus memilih, ukurannya, warna, model, pasti kita pilih yang cocok, Kalau asal comot, kan nggak ada yang gitu, bisa-bisa ukuran kegedean atau kekecilan,” katanya.

Artinya, semua hari adalah baik, tapi kita harus memilih yang terbaik dan cocok. Sehingga dalam hal pernikahan ngalor ngulon tadi, bisa di-wiradati atau disranani (dicarikan jalan keluar) dengan memilih hari yang tepat bagi pasangan yang akan menikah. “Memilih hari baik,” ujarnya.

Hitungannya berdasarkan weton, atau nepton. Yakni, menurut hitungan  Saptawara (7 hari) dan pancawara (hari pasaran Jawa, lima hari).

Hari dalam Sapta wara, Senin, Selasa, Rabu, Kemis, Jemuah, Setu, Akad. Sedangkan hari dalam Pancawara adalah Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi.
Hitungan itu masih dikaitkan dengan wuku dan bulan yang baik. (win)