Sebagai suami yang masih muda dan enerjik, Junaidi sungguh tersiksa oleh embargo istrinya tersebut.
Sebab meskipun sudah minta dispensasi khusus malam Jumat saja, Suranti tak juga mengabulkan.
Meski suami mendalil bahwa hubungan intim malam Jumat sama pahalanya dengan membunuh 40 Yahudi, Suranti masih juga mendebat, “Salah apa itu Yahudi kok dibuat tiban?
Bunuh orang sampai 40, lalu makamkannya di mana, karena di mana-mana sekarang kuburan penuh.”
Lantaran hasratnya terkendala oleh kebijakan istri yang tidak pro rakyat, Junaidi mencari penyelesaian dengan caranya sendiri. Diam-diam dia mencari “penyaluran” sendiri.
Di Jakarta saja ketika kali Ciliwung meluap, bikin sodetan di Kampung Melayu dan dialirkan ke Banjir Kanal Timur (BKT). Apa lagi ini yang tak tertampung urusan syahwat, tentu lebih muda mencari solusinya.
Dengan cepat Junaidi dapat gebedan baru, yang siap menampung hasratnya yaang meledak-ledak.
Karena di Medan ini juga tak ada makan siang gratis, dia sering kasih uang pada WIL-nya melalui transveran.
Sebab WIL Junaidi punya prinsip: ada benggol ada bonggol! Dan Junaidi sangat mematuhi konsesus itu./
Tapi rupanya Junaidi memang lelaki ceroboh. Sekali waktu bukti transveran dan SMS-SMS mesra buat WIL terbaca oleh istri.
Tentu saja Suranti ngamuk. Tapi dia masih bisa menahan emosi. Diam-diam dia mendatangi lokasi mesum suaminya itu, dan ternyata berhasil gemilang.
Dalam kondisi hamil 5 bulan Suranti berhasil menangkap basah suaminya di sebuah ranjang mesum tingkat II.