CINTA segitiga dalam keluarga sering terjadi, salah satu praktisinya adalah Bonari (40), dari Bangkalan (Madura). Dia yang tinggal di Jakarta, demi cintanya pada Solekah (39), jadi rajin pulang kampung. Gara-gara ulah Bonari, suami Solekah sampai meninggal. Anak Solekah dendam, dan paman celamitan itu dieksekusi.
Jika cinta sudah melanda dalam jiwa, dunia serasa daun kelor, begitu sempit! Stok nasional perempuan dijamin sampai Lebaran tiba tak pernah habis, tapi masih ada juga yang mengganggu bini orang. Yang diganggu pun bukan orang jauh, ada juga keluarga dekat, tentu saja suami si perempuan tidak terima. Ada yang bikin perhitungan sesama lelaki (berkelahi), tapi ada yang kepikiran sampai ngenes dan......wasalam.
Bonari adalah salah satu penderita penyakit cinta yang jadi buta. Sudah tahu bahwa Solekah adalah istri daripada kakak sepupunya, Mat Soleh (45), kok ditelateni juga. Memangnya di Bangkalan sana sudah kehabisan stok wanita? Tidak, kan? Buktinya pemerintah tak pernah punya gagasan impor 1 juta ton perempuan. Boro-boro impor wanita sebegitu banyak, baru mau impor beras 1 juta ton saja sudah banyak yang berkeberatan.
Secara ekonomi, Bonari yang tinggal di Jakarta memang cukup sukses. Ukurannya, punya rumah mentereng dan mobil bagus. Sedangkan Mat Soleh dan istrinya, Solekah keluarga yang hidup pas-pasan. Mau makan enak, pas nggak punya duit; mau beli kulkas 2 pintu, pas nggak ada uang. Mau beli mobil, pas tak ada duit banyak. Jadi sehari-hari paaaaas melulu!
Tapi meski ekonomi pas-pasan, ketika dulu Mat Soleh cari istri, pas ada wanita cantik masih nganggur. Maka dikawinilah dia sampai kemudian melahirkan sejumlah anak. Ungkapan lama “banyak anak banyak rejeki” pas ketemu Mat Soleh – Solekah, terjadi aksioma. Banyak anak banyak pikiran, karena beban ekonomi yang tak seimbang antara pemasukan dan pengeluaran.
Bonari yang sering pulang ke Geger kampung halamannya, sering menyaksikan kerepotan kakak sepupunya itu, sehingga Mat Soleh suka minta bantuan pada adik satu kakek itu. Lama-lama yang ngomong minta bantuan bukan lagi Mat Soleh, tapi juga Solekhah istri sendiri.
Di sinilah bibit-bibit cinta Bonari mulai tumbuh meski tak pernah dipupuk pakai Urea ataupun NPK. Pupuk itu cukup kertas biru gambar I Gusti Ngurah Rai ataupun kertas merah bergambar Sukarno-Hatta. Dan karena sepertinya Solekah memberi lampu ijo, Bonari jadi makin rajin pulang kampung tak peduli ada ancaman karantina maupun isolasi mandiri.
Maka di kala di mana-mana ada seruan jaga jarak minimal 1,5 meter, di ranjang hotel Bonari-Solekah sengaja mempersempit jarak itu tinggal 0 centi meter. Keduanya lupa bahwa Bonari-Mat Soleh sepupuan, karena yang penting “adu pupu” atau paha demi memuaskan syahwati. Maka ketika ada suply benggol, maka demand bonggol pun menyusul.
Lama-lama praktik “adu pupu” antar sepupuan itu tercium oleh Mat Soleh. Tapi karena sudah berutang budi, dia hanya menegur Bonari secara lembut, begitu lembutnya sampai-sampai disaring pun lolos. Padahal Bonari yang sudah kadung kesengsem pada bini kakaknya, jadi tak peduli. Hal ini menjadikan Mat Soleh menderita tekanan batin, ngenes dan kemudian sakit-sakitan.
Baeran (20), anak sulung Mat Soleh sudah menegur ibu dan Oomnya, tapi rupanya tak pernah menjadi perhatian serius. Keduanya terus bermesum ria, kadang-kadang online, kadang offline. Nggak ada yang keberatan, nggak ada yang protes, karena Bonari memang imannya tidak besar kecuali nafsunya saja yang besar!
Gara-gara memikirkan kelakuan sepupunya, Mat Soleh akhirnya meninggal. Hal ini membuat Baeran dendam membara. Pas Oomnya datang ke Bangkalan, baru turun dari mobil langsung disambut beberapa kali tusukan dan Bonari pun wasalam. Dalam pemeriksaan Baeran mengaku dendam karena si Oom terus memacari emaknya.