Pakar: Kata 'Benci' dari Presiden Jokowi Jangan Melihatnya Dengan Kaca Mata Kuda

Jumat 05 Mar 2021, 16:07 WIB
Emrus Sihombing.

Emrus Sihombing.

JAKARTA -  Kata benci yang dilontarkan Presiden Jokowi, yakni mengajak benci produk luar negeri, banyak mendapat tanggapan masyarakat.

Pakar ilmu komunikasi (komunikolog) Emrus Sihombing meminta adanya kata benci dalam wacana Presiden Jokowi itu jangan melihatnya dengan kaca mata kuda.

Perbincangan tersebut mengemuka setelah Presiden Jokowi mengatakan agar menggaungkan cintai produk dalam negeri dan juga benci produk dari luar negeri.

Baca juga: Jokowi: Kita Harus Mampu Manfaatkan Secara Optimal Pasar Dalam Negeri yang Besar untuk Dongkral Ekonomi Nasional

"Dari sudut Ilmu Komunikasi, khususnya dari perspektif pemaknaan simbol, diksi 'benci' pada ucapan Presiden dapat dimaknai dari dua sudut," katanya saat dihubungi, Jumat (5/3/2021).

Emrus menilai, dari sudut denotatif. Diksi 'benci', dapat dimaknai agar  idak menyukai atau menjauhi atau tidak menggunakan produk luar negeri. Pemaknaan kata 'benci' tersebut hanya dilihat berdasarkan rangkaian huruf yang membentuk kata 'benci' itu sendiri. 

"Jadi, kata 'benci' dimaknai secara eksklusif. Ini berpikir dengan menggunakan 'kaca mata kuda' atau linear 'dilihat'. Dari aspek makna denotatif, diksi 'dilihat' di situ sebagai kata pasif dari tindakan memandang atau melihat dari kata dasar lihat," bebernya.

Baca juga: Presiden Jokowi Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Berada di Kisaran Plus 4,5 Sampai 5,5 Persen

Padahal,  kata Emrus, diksi 'dilihat' dalam alinea ketiga tersebut bermakna 'merujuk'. Oleh karena itu, untuk menangkap hakekat makna dari suatu atau beberapa simbol dan atau kata harus holistik. 

Dari sudut konotatif atau makna mendalam (paripurna), ungkap Entus, makna diksi 'benci'  harus dilihat dari keseluruhan susunan kata sebelum dan sesudah munculnya kata 'benci' itu.

"Dan juga harus kontekstul serta mengkorelasikan dengan seluruh simbol non-verbal yang menyertai diksi 'benci' itu sendiri" katanya.

Baca juga: Ramai Diperbincangkan, Ini Komentar Dikta Perihal Surat Terbuka Musisi Untuk Jokowi

 Misalnya, lanjut Emrus, intonasi suara dan ekspresi wajah  Presiden pada saat itu. Bahkan termasuk pandangan beberapa pembantu Presiden yang menyusul berikutnya, utamanya respon dari Menteri Perdagangan yang mengatakan, mengaku salah.

"Merujuk pada rangkaian kata sebelum dan sesudah diksi "benci" dan seluruh rangkaian simbol non-verbal yang menyertainya, dari sudut konotatif, diksi "benci" dapat dimaknai menomorduakan produk luar negeri daripada produk dalam negeri atau menunda menggunakan produk luar negeri," katanya.

Dengan kata lain, jika suatu barang dan jasa tertentu dari produk dalam negeri belum tersedia dan atau belum memenuhi kebutuhan, sedangkan barang dan jasa produk luar negeri telah tersedia dan atau memenuhi kebutuhan, baik dari segi efisiensi dan efektifitasnya, maka masyarakat baru membeli dan atau menggunakan produk barang serta jasa dari luar negeri. Misalnya, vaksin Covid-19.

"Oleh karena itu, saya menghimbau, kita sebagai warga negara agar lebih menangkap makna holistik (tersirat) dari sebuah atau beberapa narasi daripada makna harafiah. Dengan demikian, ruang publik menjadi lebih tercerahkan" katanya.

Untuk itu, menurut hemat Entus, para Juru Bicara (Jubir) Presiden sejatinya serta merta merespon dengan menyampaikan narasi pemaknaan konotatif (makna mendalam) dari diksi "benci"  agar publik tercerahkan dari pandangan yang berbasis pada pemaknaan denotatif yang linear itu.

"Sayangnya, sampai saat ini, para Jubir belum menyampaikan pendapat  sejenis itu. Mengapa? Boleh jadi, saya berhipotesa, karena para Jubir Presiden bukan dari ilmuan komunikasi (komunikolog, red)," tutupnya. (rizal/win)

 

Teks foto: Emrus Sihombing. (rizal)

Berita Terkait

News Update