"Listrik dikategorikan sebagai cabang-cabang usaha penting dan strategis yang dikuasai oleh negara, sesuai dengan amanat UUD tahun 1945 Pasal 33 ayat 2, yang wajib dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," tegas Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini, Senin (22/2/2021).
Baca juga: Mulyanto: Pertamina Jangan Sesumbar Pasang Target Besar Lifting Blok Rokan
Menyerahkan aspek transmisi listrik kepada pihak swasta, menurut Mulyanto, secara langsung membuat pengusahaan listrik menjadi bersifat tidak terintegrasi dalam suatu badan usaha (unbundling).
Menurut Mulyanto keputusan MK terkait dengan soal ini pernah diambil tahun 2016, khususnya pasal 10 ayat (2) dan pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan.
MK memutuskan, bahwa pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, secara bersayarat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang ketenagalistrikan tersebut menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai negara.
"Karenanya pemerintah harus meninjau ulang secara seksama rencana menyerahkan aspek transmisi listrik nasional ini kepada pihak swasta," kata Mulyanto.
Baca juga: Banjir Jakarta, PLN Gerak Cepat Siagakan 72 Posko dan Lakukan Langkah Pengamanan
Untuk diketahui dari total daya terpasang sebesar 70 GW sekarang ini, maka sekitar 50 persen pembangkit listrik untuk pulau Jawa dan Bali atau 30 persen pembangkit listrik nasional adalah milik swasta (IPP).
Stroom listrik dari berbagai pembangkit listrik selanjutnya masuk mengalir dalam on grid sistem terintegrasi tunggal transmisi Jawa-Bali.
Berbeda dengan sisi pembangkitan, yang terpisah antara satu pembangkit dengan pembangkit lain, sistem transmisi on grid adalah sistem tunggal yang terintegrasi. Karenanya tak heran pada saat 'kasus sengon' terjadi black out secara meluas se-Jawa-Bali. (rizal/ys)