Namun dalam kondisi sekarang, di mana surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan utang mencapai Rp500 triliun, klausul TOP ini menjadi sangat memberatkan. Karena PLN terpaksa harus membeli dan membayar listrik yang tidak dibutuhkannya. Akhirnya klausul ini membengkakan besaran subsidi listrik serta suntikan dana kompensasi dari pemerintah.
Karenanya sudah selayaknya pemerintah turun tangan membantu PLN melakukan renegosiasi atau meninjau ulang terkait besaran prosentase TOP dengan pihak IPP. Misalnya penurunan TOP sebesar 20% hingga 30% dari kontrak PPA, selama masa pandemi, kemudian dikembalikan saat kondisi sudah normal dan pertumbuhan permintaan listrik meningkat sesuai perencanaan. (rizal/ys)