PRESIDEN Jokowi telah menyatakan bahwa masyarakat boleh menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Hal ini diperkuat oleh Mensekkab Pramono Anung yang mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan kritik baik lembut maupun keras karena hal itu penting agar pemerintah bisa melalukan koreksi atas kebijakan-kebijakannya.
Mantap itu. Kita boleh bergembira mendengar dua pernyataan penting di atas. Sebab sudah ada dua tokoh yang menyatakan mereka sekarang ketakutan jika menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Salah satunya adalah Kwik Kian Gie.
Meskipun ada yang berpendapat bahwa presiden dan menseskab menyatakan hal itu sebagai respons terhadap adanya penilaian suatu lembaga internasional yang telah menurunkan angka indeks demokrasi di Indonesia, namun kita hendaknya tetap harus menyambut ajakan presiden tersebut secara positif.
Kritik sejatinya adalah perbedaan pendapat yang dinyatakan kepada publik. Tujuannya memang bisa baik bisa juga buruk. Baik jika disampaikan untuk memperbaiki kesalahan kebijakan pemerintah. Tapi buruk jika dilontarkan hanya untuk menjelekkan pemerintah meskipun kebijakan pemerintah itu baik.
Lalu memang ada pejabat pemerintah yang tuli, ada juga yang telinganya tipis namun tentu ada yang besar hati. Yang tuli tidak peduli kritik, jalan terus. Yang telinganya tipis cepat bereaksi dengan keras bahkan menghukum. Tapi yang baik adalah yang mau mendengar kritik meskipun keras. Kesediaan mendengar kritik menunjukkan kebesaran hati dan kemauan untuk melaksanakan demokrasi. Sebab demokrasi butuh kritik, tanpa kritik bukanlah demokrasi melainkan keotoriteran.
Namun tentu kita kudu lihat dalam praktek, apakah anjuran presiden dan menseskab itu diterapkan di lapangan oleh aparat pemerintah atau tidak. Soalnya baru sehari hal itu ditulis oleh media massa, Novel Baswedan sudah dilaporkan ke polisi atas cuitannya tentang kematian ustad Maher.
Lain dari itu sejumlah aktifis yang dulu sering melakukan kritik, sampai saat ini masih belum dilepaskan dari tahanan. Kita tentu masih terus mengamati sejauh mana pernyataan presiden dan menseskab tadi diikuti oleh aparat pelaksana di lapangan. Sebab kadang-kadang memang ada perintah yang tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tapi melenceng.
Dari pernyataan presiden dan menseskab itu terkesan adanya kesenjangan komunikasi antara rakyat dengan presiden dan para pejabat. Tampaknya presiden dan menseskab tidak mengetahui bahwa di lapangan sudah banyak kritik dilontarkan dan sudah banyak juga yang ditangkap karena melakukan kritik. Jangan-jangan semua hal itu tidak sampai ke presiden dan menseskab. Wallahua’lam.
Namun begitu kita harus tetap berharap semoga instruksi presiden tentang bolehnya kritik bisa dilaksanakan oleh aparatur dibawah presiden. Sekali lagi, pernyataan presiden itu merupakan salah satu pernyataan indah yang pernah didengar oleh publik yang telah sekian lama merasa tidak bebas menyampaikan pendapat.
Semoga pernyataan tersebut merupakan pertanda terbitnya fajar menyingsing bagi demokrasi. Semua pihak baik pejabat maupun anggota masyarakat biasa hendaknya mampu menyikapi pernyataan presiden dan menseskab secara bijaksana.
Yang pejabat harus berbesar hari menerima kritik, yang publik harus belajar menyampaikan kritik yang berbobot artinya tidak asal kritik tanpa fakta. Sebab mendengarkan kritik dengan besar hati alias lapang dada merupakan pertanda kematangan jiwa pejabat. Sedangkan melayangkan kritik tanpa fakta artinya ngawur dan asal njeplak kata orang Jawa. Sempit dada dan ngawur dua-duanya merupakan pertanda belum tumbuhnya jiwa demokratis. Semoga melalui proses kritik ini kita mampu menjadi bangsa yang besar dan berjiwa dewasa sehingga demokrasi akan makin matang.
(Profesor DR Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).