Kata ini pasti sudah asing kita dengar terutama di telinga generasi muda. Tepo seliro dalam bahasa Indonesia artinya tenggang rasa atau toleransi.
Kata ini juga yang melandasi semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika, yang diambil dari kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular era Majapahit.
Para leluhur kita sudah jauh hari memikirkan tentang keberagaman Nusantara baik dari sisi bahasa, suku, budaya maupun kepercayaan yang dianut.
Keberagaman ini merupakan kelebihan dan kekuatan bangsa kita apabila kita dapat saling tepo seliro dan bersatu.
Sering kita lihat di televisi dan baca di media cetak/online/sosial para figur publik yang seharusnya memberi teladan malah saling serang dan merendahkan dalam rangka mewujudkan agenda atasan mereka.
Belum lagi pasukan digital mereka yang ramai menggiring opini akan kebenaran cerita yang belum tentu benar.
Rabu sore kemarin saya berkesempatan silaturahim dan diskusi dengan Bang Ijeck Wakil Gubernur Sumatera Utara di kediaman dinasnya.
Ayah beliau, Om Anif, adalah sahabat ayah saya sejak muda. Dimulai dengan obrolan tentang program-program Provinsi Sumatera Utara dan peran media massa saat ini, diskusi berlanjut tentang kondisi bangsa yang sekarang ini mudah sekali tersulut oleh isu-isu SARA yang dapat memecah belah bangsa.
Kuncinya, kata Bang Ijeck, adalah kesejahteraan dan pendidikan masyarakat yang harus lebih ditingkatkan secara merata.
Tidak dipungkiri di Indonesia masih banyak rakyat yang kesulitan makan tiga kali sehari bahkan mereka bersyukur bisa makan sehari sekali.
Masih banyak juga generasi muda yang putus sekolah tidak dapat meneruskan pendidikan tingkat atas karena kesulitan ekonomi keluarga. Perut lapar dan pendidikan rendah inilah yang membuat mereka bersumbu pendek dan mudah diadu domba.