JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mendesak pemerintah untuk mencabut izin operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT. Sorik Merapi Geothermal Power (SMGP), Mandailing Natal, Sumatra Utara.
Mulyanto menilai manajemen SMGP tidak mampu mengelola dan mengoperasikan PLTP secara benar sehingga menyebabkan musibah kebocoran gas buang yang menewaskan 5 orang warga dan lebih dari 50 orang dirawat di rumah sakit.
Menurut Mulyanto ini adalah kejadian mal-operasional yang sangat fatal sekaligus preseden buruk bagi bangsa ini yang tengah mendorong penggunaan EBT. Apalagi musibah itu terjadi pada saat Komisi VII DPR RI tengah mempersiapkan RUU EBT.
"Karena pelepasan uap/gas adalah operasi rutin di PLTP dan bersifat alamiah, di mana uap air bercampur dengan gas. Karena itu uap air tersebut harus dikelola sedemikian rupa dengan prosedur baku sebelum dilepas melalui cerobong uap, agar uap air yang dibuang ke lingkungan tersebut mememuhi batas aman dalam wilayah aman," katanya, Minggu (7/2/2021).
Baca juga: Komisi IV DPR RI Apresiasi Inovasi Co-firing dan Pemanfaatan FABA di PLTU Ropa
Namun, lanjut Mulyanto, dari laporan Dirut PT Sorik Merapi Geothermal Power (PT.SMGP) dan Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI ditemukan fakta-fakta, bahwa pengelolaan keselamatan PLTP ini sangat sembrono.
Ia menegaskan, korban meninggal dan pingsan di temukan pada titik 96-125 m dari cerobong pelepasan gas, padahal wilayah aman instalasi adalah di atas 300 m dari cerobong.
"Artinya pihak perusahaan tidak melakukan sterilisasi pada wilayah di dalam radius instalasi 300 m, yang menjadi SOP pelepasan gas. Ini disebabkan karena jarak antara pembangkit dengan pemukiman penduduk relatif dekat dan tidak ada kontrol pada batas radius 300 m, sehingga dengan mudah penduduk masuk ke dalam radius operasi tersebut," jelas Mulyanto.
Baca juga: DPR Desak Pemerintah Kurangi Pembangkit Listrik Batubara
Mulyanto juga menyayangkan durasi yang singkat dan minimnya sosialisasi kepada masyarakat atas rencana operasi tersebut. Sosialisasi dilakukan kurang-lebih 3 jam sebelum operasi dan itu pun dilakukan oleh tenaga keamanan yang tidak cukup pengetahuan akan bahaya operasi pelepasan gas/ uap ini. Petugas sendiri tidak paham potensi bahaya akibat pelepasan gas beracun itu.
Selain itu, operasi pelepasan uap tersebut tidak dihadiri oleh well pad superintendent (pengawas penanggung jawab pelepasan gas) yang mengarahkan pelaksanaan simulasi pengukuran arah, kecepatan, ketinggian angin, pengukuran konsentrasi gas dan memandu penggunaan detektor gas sebelum dilakukan pelepasan, sehingga pelepasan gas beracun itu aman bagi keselamatan manusia dan lingkungan.