Wamenlu Mahendra Siregar: Tangani Perubahan Iklim, Indonesia Menjaga Kesepakatan Perjanjian Internasional

Rabu 03 Feb 2021, 06:51 WIB
Wakil Menteri Luar Negeri , Mahendra Siregar.

Wakil Menteri Luar Negeri , Mahendra Siregar.

JAKARTA - Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Mahendra Siregar  angkat bicara terkait dengan isu perubahan iklim dunia.

Menurut Wamenlu, Indonesia berpegang teguh pada komitmen dan keputusan perjanjian internasional sebagai pedoman  bersama untuk melakukan langkah dan tindakan nyata , maupun  untuk mengatasi dampaknya.

Dalam kesepakatan multilateral seperti The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan juga Paris Agreement itu disampaikan bahwa masing-masing negara melakukan perannya sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya dan dalam hal itu ada hal yang  sangat penting bahwa konvensi Perubahan Iklim  mengakui  prinsip Common but differentiated responsibilities /CBDR.

Baca juga: Persiapan Vaksinasi Covid-19, Menlu: Indonesia Berupaya Mengamankan Suplai Vaksin untuk Penuhi Kebutuhan

Berdasarkan itu, kita memiliki komitmen bahwa isu perubahan iklim yang masing-masing negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai tujuan global tadi itu dengan Nationally Determined Contributions (NDC).

“Tujuan  bersama negara maju dan berkembang memiliki kondisi  berbeda (prinsip tanggungjawab bersama tapi berbeda). Ini sering terlupakan saja, padahal dalam perjanjian sendiri ada istilah  perjanjian negara-negara anek-1 atau nonanek   Indonesia, tetapi dalam implementasi terkesan bahwa tanggungjawab dan kewajiban seluruh negara dianggap sama,” ujar Wakil Menteri Luar Negeri , Mahendra Siregar dalam wawancara dengan media, Senin (1/2/2021).

Lebih lanjut dikemukakan Mahendra, prinsip itu juga kadang dilupakan,  di level antar negara juga begitu, apakah itu dari kacamata menjaga pertumbuhan, dan mengatasi kemiskinan, itu diangap bukan merupakan hak yang sama bagi negara berkembang untuk menjaga keseimbangan, menjaga lingkungan dan untuk pembangunan sosial ekonomi (bottom line).

Baca juga: DPR Dukung Langkah Diplomasi Kemenlu Usut Tuntas Disinformasi Papua Barat

Mahendera mengatakan, di negara-negara maju, isu kesenjangan sosial atau pembangunan sosial-ekonomi diangap sebagai hampir memasuki masa puncak dan tidak lagi jadi isu dan tidak terkait dengan iklim.

Persepsi yang berbeda ini atau cara penyampaian dan cara pandang berbeda, bisa menimbulkan salah pengertian.

“Ini yang lagi lagi, diplomasi iklim harus disampaikan konteks dan komitmen  serta tujuan yang menyeluruh, dan apa yang sudah disepakati bersama tidak dipenggal penggal sehingga merugikan pihak pihak tertentu. Kemudian terkait dengan CBDR, hak-hak negara berkembang untuk menjaga keseimbangan lingkungannya juga tak terganggu,” ujar Mahendra.

Amankan Kepentingan Nasional

Persoalan ini, lanjut Mahendra yang terkadang kita jumpai, baik di tingkat multilateral yang ingin  memaksakan pada pihak tertentu yang seakan akan sama atau dalam hubungan bilateral yang berkehendak sama.

Baca juga: Kemenlu Fasilitasi Pemulangan 157 ABK dan 2 Jenazah WNI

Bahkan, di tingkat yang sifatnya bukan pemerintah, baik bisnis, lembaga keuangan, semata-mata menerapkan standar tertentu  harus begitu, karena alasan standar di negara pusatnya seperti itu, padahal dia ada di negara berkembang.

Atau melakukan pembiayaan finansial di negara berkembang yang tujuannya mengatasi kemiskian.

Belum lagi, seakan -akan dinilai dan kemudian diawasi oleh satu proses yang juga tidak mengindahkan konteks yang besar tadi.

Baca juga: Ungkap Perdagangan 7 Satwa Langka, Polda Metro Jaya Dapat Apresiasi Dari Kementerian LHK

Sehingga, akhirnya mereka takut untuk melakukan pembiayaan pembangunan atau kegiatan bisnis karena ada pengawasan dari konsultan, LSM, atau seakan akan ada teknologi pengawasan satelit  bahwa mekanisme yang sebenarnya dalam proses yang sudah mapan dan diakui, apakah melalui audit dan survey.

Malah ada lagi yang melakukan pengawasan dari atas yang tidak sesuai dengan proses , kewenangan dan yurisdiksi dari negara di tempat dilakukan.

“Ini yang persoalan, balik lagi ke prioritas dan nilai-niali yang berbeda, padahal sudah ada perjanjiannya dan ini diperlukan untuk menempatkan pada konteks yang benar dan terus menjalankan komitmen kita yang sudah dijalankan tetapi di lain pihak mengamankan kepentingan nasional kita yang sudah diakui dunia internasional  untuk tetap bisa dijalankan.” (*/win)

Berita Terkait
News Update