MUNGKIN sudah saatnya kita memikir ulang penerapan pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung yang kita terapkan sejak awal Reformasi.
Mengapa? Saya melihat Pilpres Langsung itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Manfaatnya pasti ada, a.l., kita bisa secara relatif leluasa menentukan pilihan kita sendiri atas calon Presiden yang ikut Pilpres.
Itupun saya tulis, relatif leluasa. Sebab tidak mungkin kita memiliki kebebasan memilih seratus persen. Sepuluh persen atau bahkan lima puluh persennya, pilihan kita itu dipengaruhi oleh kampanye, oleh media massa dan oleh lingkungan kita.
Alhasil pilihan kita itu sangat bias pengaruh dari berbagai hal. Apalagi jika kita tidak tahu secara jelas latar belakang Capres tsb. Dalam keadaan seperti itu pemilih akan memilih capres berdasar apa yang dikatakan oleh orang berpengaruh di sekitarnya.
Namun saya amati, pilpres langsung yang kita laksanakan selama ini, telah menimbulkan beberapa hal yang kurang baik.
Yang jelas konflik sosial makin mengemuka dan meluas. Tidak hanya keretakan dan konflik antar kelompok atau golongan dan antar partai politik, malahan juga di antara sesama anggota keluarga.
Ada anak berselisih dengan orangtuanya, ada paman berkonflik dengan kemenakannya bahkan hingga saling tidak menyapa. Di beberapa daerah terjadi pembunuhan hanya karena perbedaan dukungan.
Lain dari itu biaya penyelenggaraan Pilpres sungguh luarbiasa mahal. Semua partai Politik yang ikut dalam Pilpres harus menyediakan dana trilyunan rupiah. Begitu pula para Capres yang ikut dalam kontestasi.
Apakah dana sebanyak itu tidak dianggap terbuang percuma? Bagi pendukung Pilpres langsung pastilah dana besar itu dianggap sebagai biaya yang wajar untuk pelaksanaan demokrasi.
Juga bagi para pegiat kampanye dan perusahaan survey, mereka pasti sangat mendukung Pilpres Langsung karena sebagian dana Pilpres akan masuk ke dompet mereka.
Tapi pertanyaannya apakah bagi negara berkembang seperti kita, dana itu tidak sebaiknya digunakan bagi pembangunan negeri?