KALAU selalu melihat ke atas, atau mendongak maka terasa kecil. Tapi, cobalah menunduk. Apa yang dirasakan? O iya, ternyata masih ada yang lebih sulit. Jadi kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Jadi harus bagaimana? Ya, syukuri saja hidup ini. Begitukah?
Ya, begitu. Banyak orang yang masih saja iri pada orang lain. Orang lain begini begitu, kayaknya hidup enak banget. Punya rumah bagus, mobil bagus, setiap minggu keluar jalan-jalan piknik. Setiap tahun ke luar negeri. Pulang borong oleh-oleh, yang harganya wah jutaan rupiah.
“Itulah sifat manusia. Ngiri pada orang lain. Merasa kecil karena melihat orang pada hidup kaya senang banyak uang,” ujar sahabat Bang Jalil dari jarak jauh.
Baca juga: Beradaptasi Demi Lindungi Orang yang Kita Cintai
“Itu namanya nggak bersyukur,” kata istri Bang Jalil, yang selalu paham apa yang diobrolkan sahabat dan sang suami.
“Betul itu, kata ibu,” Kata sahabat. Manusia selalu saja saling iri pada orang lain.” Ya, iri memang sifat manusia. Padahal Allah sudah mengatur rezeki kita.”
Tapi yang bikin nggak paham adalah bagaimana mungkin orang bisa beli barang yang harganya miliaran, sementara pekerjaannya nggak jelas. Katakan artis, berapa sih honornya? Kok, bisa dalam waktu singkat beli mobil seharga dua miliar? Apalagi di masa pandemik. “Kok punya duit banyak ya?” Tanya sesama artis, yang boleh jadi bukan saja heran, tapi ngiri.
Baca juga: Keteladanan Kian Dibutuhkan
Nah, buat orang biasa, yang hidupnya juga biasa-biasa saja, alias pas-pasan bisa jadi hanya bisa melongo. Paling ya, ngebathin; ”Enak kali ya, tinggal di rumah mewah yang harganya puluhan miliar?”
Ya, sebagian orang masih pandang memandang, pada kehidupan orang lain. Padahal ada nasihat dari Bob Sadino yang sangat pas untuk dicerna,” Waktu kita tinggal di rumah seluas 50 meter persegi dengan 5.000 meter, kalau sedang sepi ya sama saja.”
“Kebahagian itu kalau kita bisa ngobrol, senda gurau bersama sahabat dan keluarga. Tertawa bareng, sambil ngopi, makan singkong goreng, ya Pak?” kata sang istri.
.png)
