GAJAH di pelupuk mata nggak terlihat, tapi kuman di seberang lautan nampak terang benderang. Itu peribahasa lama, buat orang yang jago banget menyalahkan orang. Pokoknya apa yang dilakukan nggak ada yang benar, salah terus. Padahal, si penghujat tersebut juga nggak jelas kemampuannya.
Nah, orang memang ditakdirkan nggak sempurna. Secantik atau seganteng apa pun, pasti ada celahnya. Cantik, kadang sifatnya jelek. Sama juga bagi kaum lelaki, tampang boleh ganteng, tapi kelakuannya nggak karuan, nol.
Jadi nggak ada yang sempurna. Nah, jadi kalau mau cari kesalahan orang lain gampang banget, tapi kalau disuruh cari kebaikannya, kayaknya sulit? Begitulah manusia sekarang ini, yang memanfaatkan media sosial (medsos) untuk menyerang kekuarangan orang lain habis-habisan. Terutama para politikus, atau yang mengaku sebagai orang politik, ekonom, sosial atau budayawan, ahli agama dan lain-lain, saling serang. Pokoknya kalau nggak suka, pada lawannya pasti akan dijelek-jelekan. Tapi, sebaliknya kalau suka, yang jelek nggak terlihat. Bagus terus!
Baca juga: Kedelai Menghilang, Sakti Ya?
Kalau para politikus saling serang pada lawannya kayaknya biasa, tapi sekarang ini, ada juga yang mengerti agama ikutan menghujat. Padahal mereka sudah punya panggung sendiri. Banyak yang bisa dikatakan tentang nasihat kebaikan pada umat. Jadi kenapa harus melenceng ikutan berpihak?
Bukan mau ikutan menggurui, kayaknya kan bisa menyampaikan kebaikan kepada siapa saja. Apakah orang itu baik, nggak baik, kawan atau lawan. Tugas ente, yang utama sekali lagi menyampaikan kebenaran, bukan hujatan. Kalau mau ikut arus politik, ah bisa nggak ada habisnya.
Begitu pula buat yang kerjanya mengkritik. Jangan dilihat yang jeleknya aja, dong? Yang baik, ya katakan baik. “Bagus gitu, saya suka kerja bapak. Bagus, semoga bapak bisa terus memimpin negeri ini dengan amanah!” begitu kan enak, suasana jadi adem, nggak kemrungsung. Semrawut, gaduh nggak karuan! Nah, begitu maunya. Kan cantik, ya? (massoes)
.jpg)
.jpg)
.png)
.jpg)
