Oleh Harmoko
MELALUI kolom ini pernah disinggung mengenai “darurat bersama” dalam mengatasi segala problema, utamanya beragam dampak pandemi. Darurat bersama kita angkat karena menangani pandemi tidak bisa diatasi oleh pemerintah sendiri, tetapi perlu peran serta seluruh komponen bangsa.
Kita meyakini partisipasi dapat dibangun karena kebersamaan, nilai kemanusiaan dan kepekaan sosial sejatinya telah menjelma dalam diri masyarakat dan bangsa kita sejak era perjuangan dulu.
Yah, kepekaaan terhadap suasana, sering disebut “sense of crisis” telah menyatu dalam kehidupan kita. Tentu dengan kadar yang berbeda.
Rasa peduli yang dipertontonkan oleh berbagai kalangan terhadap nasib dan kehidupan warga bangsa yang sedang dilanda musibah gempa bumi, letusan gunung berapi, dan korban banjir merupakan gambaran adanya "sense of crisis".
Baca juga: Pilih Mana? Berhasil atau Berguna
Di era pandemi sekarang ini, di mana angka penyebaran Covid–19 kian masif, bersamaan dengan itu, perlu gerak cepat pemulihan ekonomi, maka “sense of crisis” hendaknya dibangkitkan dan dimantapkan lagi.
Para pejabat yang turun gunung di saat musibah terjadi, kemudian bertatap-muka secara langsung dengan para korban, dialog singkat dengan para keluarga korban, bukan saja bentuk rasa empati, tetapi dapat membangkitkan semangat "sense of crisis" terhadap suasana yang tengah terjadi.
Keteladanan semacam ini makin dibutuhkan, lebih – lebih di era pandemi seperti sekarang ini.
Pada situasi krisis, situasi yang tengah terjadi makin dibutuhkan respons yang cepat, diikuti gerakan nyata untuk menjawab permasalahan yang sesungguhnya.
Dengan begitu, "sense of crisis" akan menyoal dua hal penting.
Baca juga: Lebih Percaya Diri
Pertama, kepekaan untuk mendengar apa yang menjadi keresahan dan permasalahan publik. Kedua, kewaspadaan dalam mempersiapkan pilihan strategi terbaik yang akan dijadikan sebagai solusi atas persoalan krisis yang dihadapi.
Ke depan, semangat "sense of crisis" itu tidak harus dimulai dengan adanya sebuah bencana. Ada baiknya "sense of crisis" dapat kita rakit dalam sebuah sistem kehidupan.
Dengan harapan sikap dan wujud nyata kepekaan sosial sebagaimana "sense of crisis" ini betul-betul mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari – hari dengan penuh ketulusan.
Mungkinkah ini terwujudkan? Jawabnya sangat mungkin.
Sebagai suatu bangsa yang pernah mengalami pahitnya penjajahan, sudah sepantasnya bila dalam nurani kita senantiasa terpatri falsafah "sense of crisis" ini. Dapat benar-benar inheren dalam jiwa dan nurani bangsa kita.
Selain bangsa kita dikenal dengan tingginya nilai kegotong-royongan atau tolong menolong, ternyata di beberapa daerah terdapat pula nilai-nilai kearifan lokal yang menopang ke arah pemenuhan maksud di atas.
Artinya, "sense of crisis" memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari "sense of belonging" dan "sense of responsibility". Terketuknya nurani untuk memberi bantuan atau doa kepada mereka yang dilanda musibah, apa pun bentuk musibah yang terjadi di sekitar kita.
Mari kita buktikan bahwa kita adalah bangsa yang hirau dan peduli atas penderitaan yang dirasakan orang lain sebagaimana falsafah bangsa kita. (*)