"Kondisi demikian masih berlangsung sampai saat ini. Padahal, ekonomi syariah kini sudah menjadi ilmu mapan yang dikaji dan dikembangkan oleh lembaga keilmuan, seperti perguruan tinggi," terang Wamenag.
"Seyogyanya, keadaan fikih ekonomi yang biasanya hanya memberikan judgement, sekarang harus dibalik. Bagaimana sebuah produk ekonomi yang akan berjalan harus dilandaskan atau dikonsultasikan terlebih dahulu sebelum berjalan di tengah masyarakat,” tutur Wamen.
Baca juga: BI dan INCEIF Kerja Sama Riset Ekonomi dan Keuangan Syariah
Terkait ini, Wamenag menawarkan beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari grand strategy penyiapan SDM Ekonomi Syariah.
Pertama, menerjemahkan visi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) dan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, secara operasional dalam kurikulum pendidikan.
“Saat ini, jumlah prodi dengan nomenklatur Ekonomi Syariah/Islam, Keuangan Syariah maupun akuntansi secara nasional, termasuk di PTKI, mencapai 908 prodi,” ujarnya.
“Saya juga menyarankan untuk melibatkan pesantren-pesantren yang memiliki resources fiqh ekonomi, karena mereka memang memiliki turats nya (asal usulnya),” lanjutnya.
Selain itu, standarisasi kurikulum untuk mempersiapkan lulusan dengan kompetensi keilmuan fiqh ekonomi yang handal, baik di perguruan tinggi maupun pesantren. Melibatkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan atau lembaga-lembaga fatwa pada ormas, misalnya LBM-NU atau Majelis Tarjih Muhammadiyah yang concern dalam pengembangan ekonomi syariah. (johara/tha)