Tegas, Tak Harus Keras

Senin 07 Des 2020, 07:00 WIB
Kopi pagi

Kopi pagi

Oleh Harmoko

TEGAS tentu berbeda dengan keras. Tindakan tegas perlu diterapkan setiap waktu, sedangkan tindakan keras harus menyesuaikan dengan waktu (melihat situasi dan kondisi).

Tegas berarti jelas, nyata, tentu dan pasti. Tegas bisa berarti pula tidak ragu- ragu lagi, tidak samar – samar.

Dalam konteks penegakan hukum bisa kita maknai berupa tindakan yang tidak ragu - ragu lagi. Tak ada keraguan menerapkan sanksi kepada pelanggar.

Tindakan hukum yang dilakukan tidak samar – samar berarti terbuka, transparan, objektif ( tidak subjektif). Berlandaskan kepada aturan hukum yang berlaku, bukan atas dasar kebijakan yang dapat mengundang kecemburuan sosial.

Sementara keras, mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) berarti padat dan kuat, jika menyangkut benda. Dikaitkan dengan perangai atau tingkah laku, misalnya keras hati berarti teguh pendirian.

Baca juga: Perlu Malu, Tapi Tidak Malu – Maluin

Keras kepala berarti tidak mau menurut nasihat orang, sering pula disebut kepala batu. Tidak lemah lembut. Tindakan keras berarti tindakan yang tidak lemah lembut. Boleh jadi penuh dengan kekerasan.

Itulah sebabnya dikatakan tindak kekerasan karena tindakan yang dilakukan bisa menyebabkan orang lain cedera atau binasa. Di dalamnya terdapat unsur pemaksaan kehendak yang bertentangan dengan norma dan etika.

Tak heran sering kita dengar tindakan tegas terukur. Artinya tindakan tegas tetap harus dilakukan sampai kepada melumpuhkan, tetapi dalam pelaksanannya tetap terukur, memperhatikan situasi dan kondisi yang ada saat itu.

Acuan utamanya keselamatan jiwa, apakah keselamatan  jiwa individu maupun keselamatan masyarakat. Tentu keselamatan masyarakat menjadi acuan utama. Bukankah keselamatan masyarakat menjadi hukum yang tertinggi (Salus populi suprema lex esto).

Yah! Keselamatan masyarakat adalah yang utama. Lebih luas lagi keselamatan banga dan ngara. Dalam pedoman berbangsa dan bernegara pun kita, semua warga, setiap anak negeri diwajibkan menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Baca juga: Dialog Kakek dengan Cucunya

Karena itu, kita diminta rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara sebagaimana terukir jelas dalam penjabaran sila ketiga Pancasila yakni “Persatuan Indonesia.”

Bahkan, pada butir pertama sila keempat Pancasila disebutkan perlunya kita “ Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.”

Meski begitu dalam penerapannya sejauh mungkin tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa tindakan apa pun yang hendak dilakukan, apakah itu penegakan hukum, pengambilan keputusan lebih – lebih yang menyangkut kepentingan orang banyak harus tetap merujuk kepada kepentingan masyarakat, tentu demi keselamatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan keselamatan atas orang perorang atau sekelompok orang.

Kalau pun dalam tindakan hukum yang dilakukan mengganggu kenyamanan  sekelompok orang, bukan lantas sekelompok orang itu yang diselamatkan kepentingannya.

Justru, sekelompok orang yang terganggu kenyamanannya hendaknya sadar diri untuk mengorbankan kepentingannya, demi keselamatan umum, kepentingan yang lebih luas lagi.

Baca juga: Atasi Masalah, Bukan Sibuk Cari Masalah

Kalau masih juga tidak mau kompromi, tindakan tegas harus dilakukan. Haruskan dengan tindakan keras? Jawabnya itu pula yang harus diantisipasi dengan tetap menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Yang hendak disampaikan adalah tindakan tegas harus dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat, tetapi tidak setiap tindakan tegas harus dibarengi dengan tindakan keras.

Intinya tegas tak harus keras. Kita meyakni sekeras apa pun sikap seseorang melalui pendekatan yang tepat, dapat meruntuhkan sikap keras menjadi lembut. Sikap keras kadang tak bisa ditangani dengan keras juga. Bahkan dengan kelembutan lebih ampuh.

Ada pitutur luhur mengatakan: Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti yang artinya  “Segala sifat keras hati, picik dan angkara akan kalah dengan keluhuran budi pekerti yang bijaksana, lembut hati, sabar dan mulia.”

Ini sejalan dengan pesan filsuf Persia, Abu Hamid Al Ghazali bahwa

“Kata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra.”

Benarkah? Jawabnya mari kita coba dan buktikan. (*)

News Update