Oleh H.Harmoko
KITA harus memiliki rasa malu, utamanya malu kepada diri sendiri jika menjadi orang tidak berguna. Tidak berbuat sesuatu, sementara lingkungan bergerak melaju. Malu, jika yang lain ikut kerja bakti untuk kebersihan lingkungan, misalnya, kita “ngumpet” di rumah.
Yang lain kerja keras, kita malah bermalas – malas. Rasa malu diperlukan sebagai alat kontrol diri agar tidak terjerumus kepada hal – hal keburukan.
Malu untuk mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain, malu menerima suap dan gratifikasi.
Malu pungli, korupsi dan malu melakukan perbuatan yang merugikan banyak orang , demi meraih keuntungan diri sendiri.
Operasi Tangkap Tangan ( OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru – baru ini setidaknya mengindikasih budaya malu perlu dicermati.
Revolusi mental yang dimaksudkan membangun manusia berkualitas dan berintegritas, manusia berbudaya, termasuk berbudaya malu melanggar hukum, tampaknya masih perlu proses panjang untuk mencapai tujuan.
Kita acap menyaksikan paparan sejumlah peristiwa pelanggaran etika dan norma dipertontokan di ranah publik. Memperdaya sesama, menerima suap dan pungli tanpa ditutup-tutupi lagi.
Bahkan, tidak sedikit pejabat publik yang terlihat senyum ceria ketika mengenakan rompi tahanan KPK. Bukan rasa malu yang diperlihatkan dengan gesture tubuh, sebagaimana maksud Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan baju tahanan kepada koruptor.
Bahkan, di era digital tidak ada rasa malu lagi untuk berkomentar apa saja, kepada siapa saja, kapan saja. Etika dan norma sosial budaya kadang terabaikan.
Rasa malu kian tersingkir dari etika dan budaya kita.