"Kami menolak pelibatan TNI dalam penangkapan, biar tidak mengganggu program yang telah dan sudah berjalan dengan baik. Menurut kami, kewenangan TNI buat pemulihan, kalau itu korban pemulihan fisik biarlah BNPT yang menanganinya dengan programnya," jelas Choirul.
Chorul menjelaskan, pendekatan hukum dalam penanganan masalah terorisme di Indonesia, ialah bukan lagi menggunakan war model atau konsep atau hukum perang, tapi criminal justice system atau sistem peradilan pidana.
Karena menggunakan sistem peradilan pidana, ikut serta TNI dalam mengatasi teroris menurut Choirul harus bersifat sementara atau ad hoc. Bukan permanen seperti yang tertuang pada Rancangan Perpres.
Baca juga: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Dinilai Ancam HAM dan Demokrasi
Sebab, jika permanen, berpotensi memunculkan pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru (Orba).
Sementara, pengamat politik Arya Wishnuardi menilai doktrin atau karakter yang melekat pada militer, tak cocok apabila dihadapkan dengan persoalan hukum masyarakat sipil seperti kejahatan terorisme.
"Doktrin militer sendiri sering kesulitan jika harus mengambil peranan hukum sipil, karena yang dipakai doktrin perang," ujar Arya.
Jika akhirnya harus dilibatkan pun, kata Arya harus di momen tertentu dalam penanganan terorisme. Terutama pada fase penindakan pelaku teror, dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
Baca juga: DPR Apresiasi Kinerja Polri Tangani Kasus Terorisme
"Keterlibatan militer dalam memberantas terorisme antara penegakan hukum pidana atau pendekatan militer atau kombinasinya, TNI tidak bisa terlibat terlalu lama dalam penindakan," tuturnya.
Wakil Koordinator I Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Feri Kusuma, mengakui TNI memiliki kemampuan penangkalan, penindakan dan pemulihan, yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) TNI. Meski begitu, kemampuan tersebut tak bisa seluruhnya digunakan dalam menghadapi terorisme. (tri)