Uang deposit itu diputarkan Posfin secara samar dalam bisnis-bisnis perusahaan yang tak jelas atau proyek yang diduga fiktif.
Ada delapan proyek diduga terdapat penyimpangan pengelolaan keuangan PT Posfin hingga mengarah ke tindak pidana korupsi. Total Kerugiannya capai ratusan miliar.
Salah satunya, proyek pengadaan Alat Soil Monitoring dan Peremajaan Lahan di Kementan senilai Rp 19 miliar. Posfin menunjuk sebuah perusahaan swasta PT Sans Mitra Indonesia (Sans) dan PT Oxela Surya Kencana (Oxela) menjadi vendor pengadaan barang.
Baca juga: Usut Dugaan Korupsi, KPK Periksa Bupati Bandung Barat
Tapi salah satu perusahaan vendor itu, PT Sans, memberikan dua cek tunai bodong kepada Posfin sebagai jaminan pembayaran melalui cek tunai bank mandiri nomor H2398656 senilai Rp 10 miliar serta nomor cek tunai H2398566 Rp 57 miliar.
"Posfin sudah mengeluarkan uang Rp 19 miliar tapi tak ada skema bisnis yang bikin untung perusahaan, malah vendor memberikan cek kosong," ungkapnya.
Selain itu, uang disamarkan lewat pembelian saham hingga untuk keperluan pribadi Dirut Posfin Soeharto, yang kini sudah meninggal.
Dalam hasil audit terungkap, ada Rp 3,1 miliar yang digunakan Soeharto untuk membayar hutang-piutang kepada rekan kerjanya ketika masih bekerja di PT Telkom bernama Joni Santoso. Dia juga terbukti mengirimkan uang kepada anak kandungnya bernama Miki senilai Rp 1 miliar.
Baca juga: Sudin KPKP Pulau Harapan Lakukan Vaksinasi 192 HPR
Lalu sisanya, digunakan untuk membayar premi sertifikat jaminan pembayaran (PT Caraka Mulia-PT Berdikari Insurance) senilai Rp 2,8 Miliar, Pembiayaan Back To Back Mega Syariah (BMS) Rp 9,2 miliar, pembelian saham di PT Pelangi Indodata dan PT Lateria Guna Prestasi Rp 17 miliar, proyek Certification Authority (CA) Rp 6 Miliar serta pengadaan X-ray senilai Rp 1,8 miliar. Totalnya mencapai Rp 127 miliar.
"Modusnya dilakukan dengan pemalsuan dokumen, tanpa Feasebilty study (FS), tanpa sepengetahuan dewan komisaris, serta biasanya dilakukan dengan perjanjian back date," ucap Fadhol.
Fadhol menyebut, selain Soeharto, eks Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsih Wahyu Setijono juga dinilai bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan itu. Hal itu diperkuat dengan, Direktorat Jaringan dan