PTUN Memutuskan Jaksa Agung Bersalah Terkait Tragedi Semanggi I dan II

Rabu 04 Nov 2020, 17:26 WIB
Jaksa Agung  ST Burhanuddin.

Jaksa Agung ST Burhanuddin.

JAKARTA – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (4/11/2020), memutus bahwa Jaksa Agung RI ST Burhanuddin bersalah terkait penyebutan kasus Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin soal tragedi Semanggi itu terlontar saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 lalu.

Pengacara dari YLBHI M Isnur dalam konferensi pers Rabu (4/11/2020) mengapresiasi keputusan yang dikeluarkan PTUN, yang sudah memutuskan seuai fakta persidangan, yang sudah menggali bahwa ada cacat subatsnsi dalam pernyataan jaksa Agung di 16 januari 2020.

Baca juga: Semangat Jaksa Agung Mereformasi Birokrasi di Kejagung Harus Diikuti Bawahanya

"Ini persidangan sulit bagi kami di masa pandemi, persidangan diakukan online sebagian, termasuk putusan hari ini. Sebenarnya kami sudah meminta PTUN untuk membacakan putusan sebagaimana biasanya, diliput oleh rekan media.

Pernyataan Jaksa Agung yang  disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR itu dinyatakan sebagai tindakan pemerintahan yang melanggar hukum oleh PTUN. Dalam artian tidak benar pernyataan itu," papar Isnur.

Dia mengungkapkan, amar putusan itu menguak bahwa pernyataan dari jaksa agung tersebut mengandung kebohongan atau pernyataan yang patut untuk diluruskan.

Baca juga: Permintaan ICW Agar Jokowi Copot Jaksa Agung Dinilai Berlebihan

"Maka dalam putusan selanjutnya, hakim mewajibkan kepada jaksa agung untuk menjelaskan perkara yang sesungguhnya pada rapat kerja sesudahnya. Bahwa benar pada 2001 ada pernyataan dari DPR dalam rapat paripurna yang mengadakan itu bukan pelanggaran HAM berat. Tetapi itu tidak sesuai dengan ketentuan UU no 26 tahun 2000 Tenetang Pengadulan HAM, dimana DPR itu besikap seharusnya berdasarkan setelah penyelidikan dan penyidikan," jelasnya.

Isnur menyebutkan, penyelidikan tentang dugaan pelangagran HAM berat ini dilakukan KPP Komnas HAM tahun 2001 dan 2002. Dalam penyelidikan itu, diumumkan bahwa ada dugaan pelangaran HAM berat.

"Nah jaksa agung tidak mengungkapkan bahwa ada tindakan-tindakan lain pada 2001. Kemudian pada 2007 juga ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa DPR tidak bisa serta merta bisa membuat putusan tanpa adanya proses penyidikan terlebih dahulu," katanya.

Berita Terkait

News Update