Oleh Harmoko
Kita kenal istilah taat asas, taat norma, taat aturan dan kata taat yang lain. Makna yang terkandung di dalamnya boleh jadi sama, tetapi beda dalam penerapannya yang tentu saja berbeda pula ketika orang menyikapinya.
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata taat berarti senantiasa tunduk, patuh, setia. Bisa juga berarti tidak berlaku curang.
Dalam konteks agama, beribadah berarti "saleh".
Ketaatan berarti kepatuhan atau kesetiaan terhadap sesuatu hal. Kepatuhan melaksanakan perintah, kesetiaan menjalankan perintah sebagaimana diamanatkan.
Lantas bagaimana dengan taat asas? Masih merujuk kepada KBBI, taat asas berarti tidak berubah dari ketentuan yang sudah ditetapkan. Sering pula disebut konsisten. Ketaatasasan adalah sebuah sikap yang tidak mudah berubah dari ketentuan yang sudah ditetapkan, sudah diputuskan dan disepakati. Apalagi terhadap ketentuan yang telah diputuskan bersama. Lebih-lebih yang bersangkutan ikut terlibat di dalam merumuskan ketentuan.
Taat asas sangat dibutuhkan di era sekarang ini, di saat beragam kebijakan ditelorkan. Tidak hanya kebijakan yang terkait dengan penanganan Covid -19, juga menyangkut penyelesaian dampak pandemi.
Belum lagi soal-soal kehidupan berbangsa dan bernegara berikut dampak problematik yang menyertainya. Sebut saja masalah ketenagakerjaan, angka kemiskinan, soal impor pangan, garam rakyat dan masih banyak lagi.
Persoalannya memang cukup kompleks, bahkan sangat kompleks. Tetapi kompleksitas persoalan dapat diurai melalui sebuah peraturan dan ketentuan yang disepakati sebagai pedoman pelaksanaan.
Dengan norma tidak hanya terdapat petunjuk teknis pelaksanaan, juga ikatan kepatuhan. Bukankah norma itu sendiri berupa aturan yang mengikat seluruh masyarakat yang bersangkutan dan taat asas.
Sebuah ketentuan yang dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku.
Tentu, sebagus apa pun aturan itu dibuat, tidak dapat dijalankan secara baik dan benar, boro - boro maksimal, jika kita tidak konsisten, tidak disiplin taat asas.
Tanpa konsistensi, aturan hanya akan indah di atas kertas, tetapi buruk dalam pelaksanaan. Dan bisa menjadi yang disebut "hilir-mudik."
Sikap konsisten hendaknya diteladani oleh mereka yang menerbitkan ketentuan, aturan atau norma. Oleh mereka yang terlibat dalam merumuskan ketentuan.
Jangan sampai awalnya bersikeras mengeluarkan sebuah ketentuan, tetapi begitu sudah diberlakukan - diundangkan untuk umum (publik), kemudian berubah sikap dengan beragam alasan. Bukan meneladani, malah ikut mengkritisi kebijakan.
Inilah cermin perilaku yang tidak konsisten, tidak taat asas.
Siapa saja pihak yang ikut melahirkan kebijakan hendaknya ikut bertanggung jawab atas pelaksanaannya, meski pada akhirnya kebijakan dimaksud menuai banyak kritik dari publik.
Kritik seharusnya disikapi secara bijak, sebagai bahan evaluasi. Bukan dijadikan lahan untuk memproduksi kontroversi.
Jika kebijakan ternyata tidak tepat sasaran harus diakui secara terbuka, bukan lempar kesalahan, apalagi lari dari tanggung jawab.
Padahal sikap atau sifat tidak bertanggung jawab adalah salah satu ciri ketidak konsistenan, tidak taat asas.
Ciri lainnya, selalu berprasangka buruk, merasa dirinya paling benar, paling bisa, dan paling baik. Dan sebaliknya, alergi terhadap kritik.
Karena yang disebut taat asas itu bukan hanya menyangkut kepatuhan dan ketaatan seseorang terhadap sebuah ketentuan. Namun juga perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, perbuatan, serta pikiran dan perasaannya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari taat asas. (*)