Tentu, sebagus apa pun aturan itu dibuat, tidak dapat dijalankan secara baik dan benar, boro - boro maksimal, jika kita tidak konsisten, tidak disiplin taat asas.
Tanpa konsistensi, aturan hanya akan indah di atas kertas, tetapi buruk dalam pelaksanaan. Dan bisa menjadi yang disebut "hilir-mudik."
Sikap konsisten hendaknya diteladani oleh mereka yang menerbitkan ketentuan, aturan atau norma. Oleh mereka yang terlibat dalam merumuskan ketentuan.
Jangan sampai awalnya bersikeras mengeluarkan sebuah ketentuan, tetapi begitu sudah diberlakukan - diundangkan untuk umum (publik), kemudian berubah sikap dengan beragam alasan. Bukan meneladani, malah ikut mengkritisi kebijakan.
Inilah cermin perilaku yang tidak konsisten, tidak taat asas.
Siapa saja pihak yang ikut melahirkan kebijakan hendaknya ikut bertanggung jawab atas pelaksanaannya, meski pada akhirnya kebijakan dimaksud menuai banyak kritik dari publik.
Kritik seharusnya disikapi secara bijak, sebagai bahan evaluasi. Bukan dijadikan lahan untuk memproduksi kontroversi.
Jika kebijakan ternyata tidak tepat sasaran harus diakui secara terbuka, bukan lempar kesalahan, apalagi lari dari tanggung jawab.
Padahal sikap atau sifat tidak bertanggung jawab adalah salah satu ciri ketidak konsistenan, tidak taat asas.
Ciri lainnya, selalu berprasangka buruk, merasa dirinya paling benar, paling bisa, dan paling baik. Dan sebaliknya, alergi terhadap kritik.
Karena yang disebut taat asas itu bukan hanya menyangkut kepatuhan dan ketaatan seseorang terhadap sebuah ketentuan. Namun juga perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, perbuatan, serta pikiran dan perasaannya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari taat asas. (*)