SEHUBUNGAN dengan kontroversi pelaksanaan pilkada, ada humor baru di medsos. Bunyinya: Telah ditemukan obat Covid terbaru namanya Pil-kada. Hehe orang kita memang kreatif. Humor itu harus dibaca sebagai ungkapan kritik karena ada kesan pilkada dipaksakan di tengah pandemi Covid-19.
Pengritik itu berpikir bahwa pilkada itu jika jadi dilaksanakan bisa menjadi sumber penyebaran virus Covid. Sebab akan terjadi kerumunan orang. Sekarangpun konon sudah tiga calon kepala daerah terjangkit Covid. Mungkin sudah ada juga di antara kerumunan kampanye yang juga terjangkit. Soalnya tampaknya banyak yang hadir kampanye tidak memakai masker padahal mereka berkerumun.
Nantipun di saat pencoblosan pasti banyak kerumunan dan pasti ada yang tidak memakai masker apalagi yang di pelosok.
Tapi sebagian lagi tetap berkeras untuk melaksanakan pilkada termasuk KPU dengan alasan masing-masing. Ada yang beralasan agar tidak mengganggu proses pergantian pimpinan daerah. Tapi ada pula yang menuduh, ini dari yang ingin menunda pilkada, bahwa pilkada ini dipaksakan agar anggota keluarga bisa segera menjadi pimpinan daerah. Tak tahulah mana yang benar.
Mungkin pertimbangan yang matang dan netral memang harus dilakukan agar semuanya selamat. Maksudnya, pergantian kepala daerah tetap terjadi tapi publik juga selamat dari Covid.
Jadi kalau memang harus tetap dilaksanakan, diharapkan agar protokol kesehatan diberlakukan dengan ketat sekali. Artinya, perlu ada petugas kepolisian dan TNI yang mengatur agar tidak ada kerumunan disaat kampanye.
Kemudian di saat pencoblosan harus diatur antrean dengan jarak satu meter dan memakai masker. Harus ada sanksi tegas kepada mereka yang melanggar protokol. Artinya siapapun yang membandel berkerumun harus diberi sanksi apalagi jika tidak memakai masker.
Tapi jika diperkirakan petugas tidak akan mampu melaksanakan protokol kesehatan secara tegas dan konsisten di semua TPS maka apa boleh buat, Pilkada harus ditunda. Sebab keselamatan dan nyawa publik harus lebih diutamakan daripada jabatan seseorang.
Dalam hal memperkirakan hal-hal seperti itulah, kemampuan membaca berbagai kemungkinan sangat dibutuhkan. Sebab kekeliruan dalam membuat perkiraan akan berakibat fatal, dalam hal ini penyebaran Covid akan makin meluas.
(Prof DR Amir Santoso, Guru besar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).