Fraksi PKS Soroti Rencana Tambah Utang Indonesia Lebih 1.000 T di 2021

Rabu 30 Sep 2020, 12:53 WIB
Anggota DPR Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam. (ist,)

Anggota DPR Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam. (ist,)

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menyetujui rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (RUU APBN) tahun 2021 menjadi UU APBN, Selasa (28/9).

Namun Fraksi PKS tidak setuju dengan rencana penambahan utang sebesar Rp1.177,35 triliun pada tahun 2021. Dalam pandangan Fraksi PKS yang disampaikan Ecky Awal Mucharam, Fraksi PKS, tidak setujui adanya penambahan utang.

"Penambahan utang sebesar Rp1.177,35 triliun pada tahun 2021 sangat mengkhawatirkan karena dapat berakibat pada melonjaknya jumlah total utang sebesar 19,62 persen dari outlook total utang pada akhir 2020," kata Ecky dalam draf pandangan akhir yang diterima Rabu (30/9).

Dia mengatakan penambahan utang Indonesia secara statistik dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 (outlook) telah mencapai Rp3.390,72 triliun atau meningkat 129,97 persen.

"Periode pemerintahan ini memegang rekor dengan penambahan utang yerbanyak. Bukan hanya secara agregat, Debt to GDP ratio juga mengalami peningkatan," terang Ecky.

Menurut Ecky, periode pemerintahan terdahulu mencatat debt to GDP ratio terus mengalami penurunan dari 50 persen pada 2004 hingga mencapai 24 persen pada tahun 2014.

"Namun sebaliknya, periode pemerintahan ini hingga akhir 2019 debt to GDP ratio telah mencapai 30,2 persen. Dengan utang yang makin melonjak tahun 2021, debt to GDP ratio akan mencapai kisaran 40 persen," papar Ecky.

Ia menegaskan meningkatnya debt to GDP ratio ini menunjukan bertambahnya jumlah utang yang tidak diiringi dengan bertambahnya produksi nasional secara proporsional.

"Dengan kata lain kualitas utang Pemerintah dinilai kurang baik. Sebab itu,  Fraksi PKS mendesak pemerintah mengkaji lebih mendalam terkait peningkatan jumlah utang yang signifikan, " tandas Ecky.

Selain itu, lanjut Ecky  Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk konsisten dan memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan skema defisit yang sudah disepakati bersama sebesar 5,5 persen terhadap PDB.

"Hal ini menyangkut kredibilitas dan kesehatan APBN. Defisit APBN selama ini dinilai tidak produktif, kondisi ini ditunjukan dengan alokasi anggaran belanja yang tidak efisien serta berpotensi untuk di salah gunakan," tuturnya. (johara/tha)

Berita Terkait

News Update