JAKARTA - Pemilihan kepala desa bisa ditunda, dengan pelbagai alasan, menggapa pilkada ngak bisa ditunda? Apa bedanya pilkada dengan pilkades? Kalau alasannya, dengan Pilkada bisa memutar uang ke daerah dan mengangkat pertumbuhan ekonomi, itu pikiran tidak tepat.
Hal itu disampaikan oleh pengaman politik Pangi Syarwi Chaniago dalam rilisnya, Kamis (24/9/2020),
"Kalau alasan pilkada dipaksakan hanya karena kalkulasi hitung-hitung pertumbuhan ekonomi, pilkada bisa meningkat daya beli, terjadi sirkulasi jumlah uang ke tengah masyarakat, belanja pembuatan spanduk, baliho, alat peraga, dan lain-lain, belanja pilkada meningkat, uang menyebar, menurut saya ini jelas alasan yang kurang tepat. Apakah Pilkada dan pemulihan ekonomi harus mempertaruhkan keselamatan jowa rakyat," ujar Pangi.
Lalu, lanjut dia, ada juga sebagian elite khawatir kalau pilkada ditunda, maka kepala daerah sekarang, rata-rata selesai masa jabatannya bulan Februari 2021, itu artinya akan ada sekitar 240 kepala daerah plt, apa betul plt kepala daerah di masa krisis kurang tepat?
Dalam hal ini dinggap menguntungkan kemendagri yang menunjuk plt kepala daerah, di masa krisis, dan plt tak bisa mengambil keputusan/kebijakan strategis.
"Solusinya banyak, sementara dipilih DPRD, bisa juga Gubernur ditunjuk presiden sebagai perpanjangan pemerintah daerah, mungkin saja sementara plt bupati/walikota ditunjuk Gubernur, masih banyak pola-pola lainnya, asal punya itikad baik, selalu ada jalan dan kemudahan," kata Pangi.
"Namun jangan sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi, demi menyelamatkan demokrasi, demi elektoral, biar rakyat mati, ini jelas nggak lucu," ujarnya.
Banyak sudah regulasi/aturan main, katanya, himbauan agar tidak boleh ada kerumunan, ngak boleh ada arak-arakan, tidak boleh ada pengumpulan massa, ngak boleh ada konser, dibatasi jumlah acara face to face yang mengumpulkan warga, tetap saja, lagi-lagi yang namanya peraturan, regulasi, undang-undang, hanya indah di kata-kata naskah teks, prakteknya, penegakan sangsinya berujung pada kompromi dan nego politik.
"Buktinya banyak calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan ketika pendaftaran bakal calon kepala daerah ke KPU, beramai-ramai, berkerumunan, tidak lagi mematuhi protokol kesehatan," ujar PAngi yang juga Pangi Syarwi Chaniago*
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Pertanyaannya apakah berani dis-kualifikasi calon tersebut? Bagaimana kalau nanti yang melanggar ditemukan anak presiden dan menantu presiden yang kebetulan ikut dalam kontestasi elektoral pilkada, apakah berani menindak dan memberikan sangsi? Lagi-lagi ujungnya kompromi politik.
Belum lagi, alasan KPU bicara bukan kewenangan institusi mereka soal menertibkan, bukan masuk wilayah pekerjaan kami, kami dibatasi undang-undang lah, macam-macam alasan, intinya bahasa keputus-asaan, sementara cluster pandemi pilkada makin mengerikan.