ADVERTISEMENT

RUU Cipta Kerja, PKS: Indonesia Jangan Mau Didikte WTO

Kamis, 3 September 2020 15:45 WIB

Share
RUU Cipta Kerja, PKS: Indonesia Jangan Mau Didikte WTO

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA - Anggota Badan Legislasi DPR, Mulyanto mengingatkan pemerintah jangan terlalu longgar memberlakukan ketentuan impor terkait produk pertanian. Ia meminta pemerintah jangan mau didikte Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) dalam menetapkan aturan impor pangan yang akan dicantumkan dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja.

"Kepentingan nasional dan perlindungan terhadap petani harus tetap menjadi hal yang utama dan dipertahankan. Kebijakan politik kita tetap harus mendahulukan pangan dalam negeri dan menjadikan impor pangan sebagai komplementer. Impor dilakukan hanya jika kita kekurangan produksi dalam negeri," ujar Mulyanto, di Jakarta, Kamis (3/9/2020).

Politisi PKS ini menambahkan liberalisasi perdagangan jangan sampai menggilas nasib petani. Sebab sekali petani frustrasi dan tidak mau menanam maka selamanya bangsa ini akan menjadi pengimpor semua produk pertanian.

“Ini menjadi perhatian serius PKS, karena pada pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus dan menambahkan norma terkait dengan UU Pangan baik UU Hortikultura, UU Peternakan, UU Budidaya Pertanian, UU Pemberdayaan Petani, dan lain lian terlalu longgar dan adaptif terhadap tekanan WTO, khususnya terkait dengan soal impor pangan," katanya.

Baca jugaKRPI Rekomendasikan Draf Sandingan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Begini isinya

Sebelumnya, panel WTO memutuskan, bahwa Indonesia telah melanggar aturan GATT 1994, yakni larangan penggunaan pembatasan dan pelarangan ekspor ataupun impor berdasarkan gugatan Amerika dan Selandia Baru.

Hal ini dibuktikan panel secara eksplisit. Menurut mereka pelarangan tersebut ada dalam undang-undang dan peraturan turunannya. Untuk itu Indonesia harus menyesuaikan UU dimaksud dan peraturan turunannya dengan pengaturan WTO. Bila tidak, maka diperkirakan pihak Amerika akan menggugat (retaliasi) dengan nilai kerugian diperkirakan sebesar Rp10 triliun per tahun. (rizal/ys)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT