Oleh Harmoko
BABAK baru tahapan Pilkada serentak tahun 2020 segera dimulai dengan dibukanya pendaftaran peserta sebagai "bakal calon" Kepala Daerah.
Peserta baru disebut "bakal calon" karena harus mengikuti tahapan seleksi terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Disebut "babak baru" karena Pilkada kali ini dilaksanakan di tengah pandemi yang tentu saja akan berbeda pula mekanisme pelaksanaanya. Utamanya pada tahapan kampanye.
Tetapi apa pun bentuk kampanye yang akan dilakukan, hendaknya tetap bersifat produktif dengan menjual program dan gagasan.
Bukan kontradiktif dengan mengangkat isu negatif untuk menjatuhkan lawan, menguak keburukan orang, apalagi membuka aib keluarga masa lalu yang masih diragukan akurasinya karena tidak jelas sumbernya.
Kalau pun pernah terjadi, itu adalah "keburukan" masa lalu. Sebut saja:
"Puluhan tahun lalu" yang jauh berbeda dengan kehidupan sekarang yang sudah penuh kebaikan.
Kampanye dengan membuka aib pribadi, tidak etik dan juga tidak produktif, yang pada gilirannya membuat situasi tidak kondusif. Dan pada akhirnya akan menimbulkan gesekan dan ketersinggungan yang "membuahkan" perseteruan sebagai embrio perpepecahan. Dan tak pelak akan membuahkan sebuah situasi yang tidak kita kehendaki. Lebih - lebih di saat kita sedang giat membangun kebersamaan sebagai penguat persatuan melawan Covid- 19.
Ada hikmah yang mestinya dapat kita petik dari gelaran Pilkada di tengah pandemi.
Bagi calon Kepala Daerah, kondisi ini dapat dijadikan momentum untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang mumpuni.
Pada "masa pandemi" akan lebih nampak jelas apa yang menjadi problema? Dan apa yang dibutuhkan warga masyarakatnya.
Mana yang prioritas harus segera diselesaikan dan dituntaskan.
Lebih terbuka pula untuk mengkover beragam problema yang dihadapi institusi di jajaran Pemda dalam memajukan kesejahteraan warganya.
Dengan mengetahui segala permasalahan yang ada berikut penyebabnya, maka akan dapat dengan lebih mudah dirumuskan solusinya.
Rumusan itulah yang hendaknya ditawarkan kepada masyarakat calon pemilih melalui program kerja nyata.
Kita sepakat pemimpin disebut mumpuni jika mampu memahami aspirasi, mengerti akan kebutuhan warga dan masyarakatnya, kemudian dicarikan solusi yang jitu di segala hal.
Pemimpin akan disebut berhasil jika dapat mengurangi derita warganya, bukan menambah sengsara. Membuat masyarakat tersenyum, bukan justru manyun. Membikin masyarakat cerah ceria bahagia, bukan nelangsa. Menderita penuh duka lara sengsara.
Itu semua dapat terpenuhi manakala pemimpin mau berbagi.
Ingat! Berbagi bukan harus dengan uang seperti halnya membagi- bagi uang atau menebar hadiah agar dipilih dirinya pada saat pencoblosan.
Berbagi bisa dengan hati. Bahkan, dengan memberi perhatian yang tulus kepada warga yang sedang kesusahan, agar dapat mendatangkan rasa kebahagiaan.
Maknanya berbagi dan memberi tidak harus menunggu mampu. Berbagi bukan karena mampu, tetapi karena mau.Tetapi pula bukan karena mau Pilkada.
Memberi bisa dilakukan kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja yang layak diberi.
Bukankah memberi lebih baik ketimbang meminta sebagaimana pepatah " Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah".
Ini berlaku universal, termasuk bagi calon Kepala Daerah. Berilah yang terbaik, yang sangat berarti kepada masyarakat. Setidaknya beri dulu, baru meminta. Jangan cuma meminta tanpa memberi. (*)