Oleh Harmoko
Kita sering mendengar istilah keadaban publik atau keadaban sosial yang tak lain adalah sebuah tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Keadaban sosial menjadi penting, lebih - lebih dengan semakin derasnya arus informasi seiring berkembangnya teknologi digital.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membuka peluang bagi setiap orang memposting apa saja, kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Terbuka pula kesempatan setiap orang memberi komen atas materi apa saja, kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Berkreasi dalam bermedia sosial merupakan tuntutan zaman, tetapi tetap mematuhi etika dan norma adalah cerminan warga negara Indonesia yang beradab.
Kita tentu tak ingin identitas bangsa yang beradab, beretika, dan berbudaya tercerabut dari akarnya. Kita tak berkehendak karakter masyarakat Indonesia yang ramah, sopan, santun hilang begitu saja.
Kita juga sangat tidak berharap sifat kekeluargaan, gotong royong dan saling tolong menolong yang sudah terbangun sejak berabab - abad lamanya, lepas begitu saja dari identitasnya.
Membangun moralitas bangsa menjadi satu upaya mencegah tidak rapuhnya identitas nasional sebagai modal utama mewujudkan cita - cita bangsa sejak negeri ini didirikan.
Kita tahu, mengukuhkan moralitas menjadi pilar pertama membangun keadaban sosial. Mengapa? Karena keadaban sosial akan terbentuk melalui tiga unsur, yakni keinginan untuk hidup bersama, empati dan patuh norma.
Maknanya, keadaban sosial adalah terwujudnya tatanan sosial yang dibangun dalam bingkai saling menghargai dan menghormati serta menjaga hak orang lain dengan tidak mudah menyakiti. Artinya, keadaban sosial diperlukan untuk mengikis sikap saling curiga, tidak saling menyakiti, tak ada upaya kriminalisasi dan persekusi baik oleh perorangan maupun kelompok.
Keadaban juga diperlukan dalam ruang publik. Ini untuk mencegah terjadinya saling hujat, saling caci yang bersifat pribadi, tetapi hampa substansi. Keadaban sosial juga diperlukan guna mencegah "penguasaan" ruang debat baik di radio dan televisi serta media sosial. Mari kita jaga dan rawat etika agar tidak tercerabut dari akar budaya yang telah diajarkan oleh para guru bangsa.
Dengan menjaga etika dan norma, berarti kita makin mengukuhkan keadaban sosial yang saat sekarang ini sangat diperlukan untuk membangun bangsa dan negara. Lebih- lebih memasuki gerbang Indonesia maju. Dalam kehidupan sehari - hari, yang paling sederhana setidaknya kita pantulkan kebiasaan memberi senyuman, salam, dan sapaan saat bertemu orang yang lebih tua ataupun teman sebaya, bahkan orang lain.
Itu tidaklah sulit karena perilaku semacam ini sejatinya telah menjadi tradisi yang melekat pada diri, bahkan gambaran umum bagi masyarakat Indonesia. Lantas bagaimana dengan ruang publik seperti media sosial? Tentu dituntut sikap saling toleran, tidak menghakimi, tidak menyakiti, dan tidak menyebar fitnah.
Menghargai ruang publik sebagai bagian dari keadaban sosial menjadi keniscayaan. Hendaknya sikap ini melekat pada semua pengguna media sosial, bukan hanya perorangan dan kelompok, juga institusi pemerintah. Mari kita saling share konten bermanfaat, bukan yang mudharat.
Mari kita kembangkan sikap saling menghormati, bukan mencaci. Mari kita tumbuhkan sikap saling menghargai, bukan menyakiti.
Tak kalah pentingnya menularkan tradisi klarifikasi, verifikasi, chek and recheck (tabayyun) dalam menerima informasi dari siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Itulah keadaban sosial dalam bermedia sosial.( * ).