Oleh Harmoko
PADA kolom ini beberapa pekan lalu disinggung bahwa mewujudkan Indonesia yang adil makmur bukan kemustahilan. Begitu pun Indonesia maju sudah di ambang pintu. Mengapa? Jawabnya, negeri kita memiliki limpahan sumber daya alam begitu rupa. Sumber daya manusia yang tak kalah kualitasnya dengan bangsa lain.
Kita juga memiliki beragam adat budaya, dan seabrek potensi daerah - sering disebut kearifan lokal. Karenanya kitab wajib bersyukur atas semua itu sebagai modal mewujudkan cita - cita negeri.
Tentu, rasa syukur bukan hanya menerima dan berterima kasih atas pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi, rasa syukur wajib pula diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku untuk menjaga, merawat dan mengelolanya demi kemakmuran rakyat.
Para pendiri negeri ini sudah sangat sadar bagaimana menjaga, merawat dan menggunakan kekayaan alam kita. Maka begitu negeri ini berdiri diatur dalam konstitusi seperti yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945. Pada pasal 33 ayat 3 dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”.
Ini dapat dimaknai bahwa prinsip dasar mengelola sumber daya alam adalah siapa yang menguasai? Bagaimana memanfaatkannya? Dan, untuk siapa sumber daya alam itu dimanfaatkan? Ketiga hal mendasar ini yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dengan alasan apa pun. Siapa yang menguasai, jelas negara. Untuk siapanya juga jelas. Demi kemakmuran rakyat.
Persoalan mulai muncul saat sumber daya alam itu dimanfaatkan. Multitafsir tidak terhindarkan karena beda sudut pandang dan kepentingan.
Di dalam UUD tersurat jelas bahwa pengelolaan sumber daya alam harus dimanfaatkan secara menyeluruh untuk kemakmuran. Maknanya adalah berupaya memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian demi kemakmuran rakyat seutuhnya.
Meski optimal bukan berarti semena- mena, tetapi harus memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam tersebut di masa depan, bisa dinikmati anak cucu, anak cucu berikutnya.
Sumber daya alam tidak dihabiskan untuk satu masa, jangan karena alasan optimal maka anak cucu kita kelak tinggal menerima ampasnya. Lebih - lebih menanggung derita karena sumber daya alam sudah "tergadaikan". Karenanya eksploitasi kekayaan alam, selain untuk memenuhi kebutuhan masa kini, juga tidak mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
Perlu sikap arif dan bijak di dalam mengelola kekayaan alam. Tidak saja dengan memperhatikan asas manfaat, juga efisien, keseimbangan, dan kelestariannya. Jangan karena alasan bisnis dan ekonomi semata alam dieksploitasi dengan tanpa memperhitungkan rusaknya lingkungan yang akhirnya akan merugikan generasi mendatang.