BAGI Keraton Surakarta (Solo), kerbau Kiai Slamet merupakan aset tak ternilai dan tak tergantikan. Maka di musim Covid-19 ini, pada malam 1 Suro tadi malam, Sinuwun PB XIII sengaja tak menggelar kirab pusaka. Dikhawatirkan kerbau dan masyarakat sama-sama terpapar.
Bagi orang Solo dan sekitarnya, Kiai Slamet adalah kerbau legendaris milik Keraton Kasunanan. Meski sekadar hewan memamah biak, tapi kerbau ini sangat dihormati bahkan dianggap keramat. Kerbau-kerbau itu secara turun-temurun dipelihara Keraton sejak Sinuwun Paku Buwono (PB) II.
Konon kerbau itu awalnya pemberian seorang Kyai di Ponorogo, ketika Sinuwun PB II keplayu (mengungsi) ke Ponorogo gara-gara Geger Pecinan (1740). Ketika situasi sudah aman, PB II kembali ke Keraton Kartosura yang ternyata sudah hancur. Dibangunlah istana baru di Keraton Surakarta sekarang.
Kerbau Kiai Slamet oleh-oleh dari Kiai Ponorogo anak keturunannya sangat dikramatkan warga Solo. Setiap malam 1 Suro kerbau-kerbau itu selalu disertakan dalam kirab pusaka, keliling kota. Ini tradisi yang juga turun temurun sejak zaman Belanda.
Tapi gara-gara Corona, di mana di Solo juga banyak korban berjatuhan, Pemkot dan Keraton Solo menghormati seruan pemerintah pusat. Maka sesuai protokol kesehatan, kali ini malam 1 Suro semalam di Solo tanpa kirab pusaka.
Maka ketika di Jakarta ada aksi menyelamatkan Indonesia, Keraton Surakarta kecil-kecilan sajalah, membuat gerakan menyelamatkan kerbau Kyai Slamet. Soalnya jika kerbau-kerbau itu terpapar Corona dan mati, ke mana cari gantinya? Ini aset Keraton yang tak ternilai dan harus dijaga.
Ketika kerbau-kerbau itu dikerubuti massa tanpa kontrol, sangat rawan untuk terpapar Covid-19. Keraton Surakarta pun tak mau ambil risiko. Kerbau-kerbau Kiai Slamet kali ini bisa lenggah sekeca (duduk manis) di kandangnya dan Suran di Kraton Solo juga diselenggarakan secara climen (sederhana) dan terbatas. Hidup Kiai Slamet! (gunarso ts)