JAKARTA - Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menuding pemerintah tidak adil dan diskriminatif dengan rencana menerapkan sertifikasi penceramah hanya untuk Umat Islam.
Umat yang sangat berjasa dalam menyelamatkan keutuhan RI dengan memberikan pengorbanan dan hadiah dengan bersedia memenuhi tuntutan merubah Sila 1 Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga selamatlah keutuhan RI yang baru saja diproklasikan tanggal 17-8/1945. Apalagi sikap Menag yang akan melakukan sertifikasi secara diskriminatif dengan hanya akan sertifikasi bagi penceramah Agama Islam, telah ditolak dan dikritisi juga oleh tokoh Non Muslim, seperti Christ Wamena.
Menurut Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, jika pun sertifikasi diadakan, penerapannya harusnya ditujukan untuk penceramah dari semua Agama, agar tegaklah keadilan, tidak saling mencurigai, dan agar prisip beragama yang moderat, toleran, inklusif itu betul-betul menjadi komitmen bagi semua penceramah dari semua Agama.
“Menteri Agama jangan diskriminatif terhadap umat Islam dan harus berlaku adil sesuai Sila ke-2 dan ke-5 Pancasila. Bila program sertifikasi itu akan dilaksanakan juga, haruslah profesional, amanah, adil, tidak diskriminatif, apalagi dengan politisasi juga. Karena program Pemerintah harusnya untuk semua warga negara secara adil, untuk penceramah semua agama secara adil dan amanah. Apalagi pak Menteri Agama pernah menyatakan bahwa dirinya bukan Menteri Agama Islam, melainkan Menteri Agama-agama,” demikian disampaikan HNW dalam keterangan tertulis di Jakarta (19/8/2020).
HNW yang juga anggota Komisi VIII DPRRI yang bermitra dengan Kemenag, menyampaikan bahwa sekalipun mendukung Islam wasathiyah (moderat) dan tasamuh (toleran), dan menolak radikalisme. Tetapi wacana sertifikasi dai yang diskriminatif dan tidak profesional yang sudah bergulir sejak 2015 adalah wacana yang berlebihan, malah bisa menjadi tidak moderat dan tidak toleran juga.
Lebih baik hadirkan keteladanan soal toleransi dan moderasi antara lain dg kebijakan2, juga dg membuka ruang dialog, jika tujuannya memang ingin cegah radikalisme dan hadirkan ceramah/penceramah Agama yang moderat, toleran dan tidak radikal. Dan kalaupun program tersebut hendak diterapkan, maka harusnya diberlakukan kepada juru dakwah dari semua agama, dan seleksinya dilakukan secara transparan, menggunakan ukuran-ukuran yang dibenarkan oleh ajaran masing-masing Agama, serta ketentuan hukum yang berlaku di NKRI.
HNW mengaku heran, dengan “ngototnya” Kemenag, sebab program sertifikasi penceramah sejatinya tidak ada dalam Janji Kampanye Presiden Jokowi. Juga tidak menjadi Kegiatan Prioritas Rencana Kerja Pemerintah/Kemenag 2020 sebagaimana yang sudah disampaikan ke DPR baik pada akhir 2019 maupun pada April 2020 setelah refocussing kegiatan akibat Covid-19.
Dirinya justru khawatir program yang diskriminatif ini bisa menimbulkan kecurigaan kepada Pemerintah, saling curiga dikalangan penyebar Agama-agama. Juga meresahkan kalangan Da’i Islam, apalagi bila program itu bisa ditunggangi/digunakan untuk menyulitkan dai dan Umat Islam.
Padahal mereka dahulu justru sangat berjasa untuk perjuangkan kemerdekaan RI sekalipun dituduh sebagai kelompok radikal oleh penjajah Belanda. Umat Islam bahkan sangat toleran, memenuhi tuntutan kalangan minoritas, dengan persetujuan mengubah sila ke-1 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Kini, masih dalam momentum peringati HUT Kemerdekaan RI ke-75, dan menyambut tahun baru Islam 1442H, sangat disayangkan, apalagi di tengah belum mampunya pemerintah laksanakan kewajiban terkait covid-19," katanya.