Otak Yang Mahal

Minggu 16 Agu 2020, 04:47 WIB

KONON pernah diadakan pameran otak manusia di Paris. Yang dipamerkan adalah contoh otak manusia dari berbagai kawasan di dunia termasuk dari Indonesia.

Di hari terakhir pameran, semua otak yang dipamerkan dijual dengan harga bervariasi sesuai dengan kualitas masing-masing.

Ada yang berharga U$ 50. Wah murah sekali. Hadirin bertanya otak siapa kok murah? Dijawab, otak orang Amrik. Soalnya sudah aus sering dipakai. Ada yang diberi harga U$ 100. Itu otak orang Jerman. Setelah berbagai macam harga, hadirin tertarik pada satu otak yang diberi harga U$ 1 juta. Panitia menjawab bahwa yang paling mahal itu otak manusia Indonesia. Kok sangat mahal? Jawaban panitia, itu otak orisinal, belum pernah dipakai.

Itu anekdot yang menghina kita. Tapi jangan-jangan ada benarnya. Boleh jadi otak kita memang lebih jarang digunakan dibandingkan otak bangsa lain hehe. 

Coba saja perhatikan bagaimana penghargaan terhadap para ilmuwan kita. Yang bekerja sebagai guru, dosen, peneliti yang kerjanya pakai otak, semuanya gajinya kecil. Sangat kecil sehingga tidak cukup untuk hidup sebulan. 

Sebagai tambahan lalu diberikan berbagai tunjangan. Tapi kalau sudah pensiun tunjangan itu dihapus tinggallah gaji pokok yang sangat kecil tadi.

Karena itu banyak dosen yang telah bergelar Doktor dan Profesor, senang jika ditawari jabatan di berbagai kementerian. Sebab di lembaga seperti itu fasilitas dan tujangannya lumayan besar. Selain tambahan gaji ada juga rumah dan mobil beserta sopirnya.

Akibatnya, tenaga terbaik perguruan tinggi banyak terhisap ke lembaga-lembaga birokrasi non-pendidikan. Tinggallah para mahasiswa memperoleh Ilmu dari tenaga pengajar seadanya.

Tapi anehnya, meskipun telah beralih ke lembaga-lembaga non- pendidikan, gelar Profesornya tetap dipakai. Memang tidak ada aturan untuk itu, atau ada tapi saya tidak tahu, namun secara etis rasanya lebih baik jika gelar itu ditanggalkan dulu. 

Kecilnya gaji dan minimnya fasilitas bagi guru, dosen, dan peneliti menunjukkan bahwa penghargaan terhadap ilmuwan sangat rendah. 

Tampaknya ada pandangan bahwa tenaga pendidik dan peneliti tidak menghasilkan pendapatan (income) bagi negara karena itu tidak perlu dihargai. Beda dengan mereka yang bekerja di BUMN dan lembaga birokrasi lainnya. Bandingkan saja gaji tenaga kependidikan dengan gaji karyawan BUMN misalnya. Pensiun mereka juga berbeda jauh. 

News Update