UMUR sudah kepala empat, anak juga empat, tapi Ny. Giyati, 43, tak malu punya PIL 13 tahun di bawahnya, Jayadi, 30, seorang duda kaya. Soalnya, suaminya Handoko, 57, setelah pensiun sedikit benggolnya, bonggol-nya juga jarang-jarang. Sedangkan Jayadi, karena masih muda, bonggol dan benggol paralel.
Lelaki kalau sudah pensiun, sering merasa aji godong jati aking (baca: tak berguna). Kekuasaan hilang, pendapatan juga berkurang. Tambah celaka bila istri di rumah tak memahami. Penghasilan suami tinggal 25 persen (uang pensiunan) keinginannya masih macem-macem. Di kala pasokan benggol dan bonggol mulai menyusut drastis, mulailah mencari PIL, tak peduli kelas berondong sekalipun.
Kelakuan Ny. Giyati warga Surabaya juga seperti itu. Semenjak suami pensiun, ditambah musim Corona lagi, Handoko lebih banyak di rumah. Di samping mengikuti protokol kesehatan, juga menghindari banyak pengeluaran. Pekerjaannya lebih banyak nyetheti manuk (main burung), meski “burung” dia sendiri mulai lupa akan kewajibannya.
Soal bonggol tak begitu masalah, tapi benggol? Ini sangat primer bagi Giyati, karena sekarang tak bisa bersolek, tak bisa kongkow-kongkow dengan para ibu-ibu. Ketika rumahtangga mulai terjadi resesi ekonomi, eh Giyati kenal dengan anak muda yang begitu bonafid. Bagaimana tak disebut bonafid, belum apa-apa Jayadi sudah suka nraktir ini itu. Dari oleh-oleh buat anak-anak di rumah sampai uang.
Ternyata dia memang naksir Ny. Giyati yang masih nampak cantik di usia kepala empat. Kebetulan anak muda itu dalam status duda, sehingga bagi Giyati yang mulai materialistis, kesimpulannya kemudian: layak dipertimbangkan! Maka sejak itulah keduanya mulai suka jalan bareng, yang kemudian tidur bareng.
Apa keduanya benar-benar tidur bareng? Ya enggaklah, itu kan sekedar istilah saja. Dalam prakteknya malah tidak tidur, karena keduanya umek (asyik) melampiaskan syahwat. Namanya juga anak muda, tentu saja tandang-grayang (sepak terjang) Jayadi demikian prima. Giyati membandingkan, ibarat main bulutangkis bila suami kemampuannya hanya backhand, Jayadi masih mampu memberikan smash tajam menukik, sampai-sampai Giyati dicangar (mendongak) terus melihat gerakan “bola” Jayadi.
Tak peduli ada suami, Jayadi sering datang ke rumah sambil bawa oleh-oleh buat anak-anak Handoko. Ini sebetulnya tamparan dan pukulan berat bagi Handoko, bagaimana harus membendung “investor” asing macam Jayadi? Di kala pemerintah membuka lebar-lebar investor asing, apakah dia juga harus membuka lebar-lebar “investor” model Jayadi ini? Di mana harga dirinya?
Handoko pernah menegur istrinya, tapi Giyati tak peduli. Malah suami dibalikin, diperyanyakan kenapa setelah pensiun malah diam saja di rumah. Lha mbok jadi Satpam pabrik kek, sukur-sukur jadi komisaris BUMN, sehingga keuangan tidak lagi terhenti. Tambah celaka, anak-anak juga sudah mulai dekat dengan Jayadi. “Wah-wah, bisa lawan bumbung kosong jadinya nih…..” keluh Handoko melihat istri dan anak-anak sudah mendukung Jayadi.
Handoko pernah nanting (berikan opsi), apa maunya sekarang? Berat suami apa berat Jayadi. Jawabannya diplomatis, tak berat ke mana-mana, yang penting bisa meningkatkan PAD rumahtangga sehari-hari. Bagi Handoko yang penghasilannya tinggal 25 persen, harus sadar untuk mengalah. Maka kemudian dia mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surabaya. Biarlah istri dan anak-anak diakuisisi Yayadi.
Sepertinya Jayadi pecinta benda purbakala, suka barang antik. (JPNN/Gunarso