DALAM suasana Hari Raya Kurban ini, Sustinah (24), malah korban perasaan di depan mertua. Sebab kebutuhan rumahtangga dicukupi mertuanya yang kaya raya, sementara suami, Dedy (27), hanya petentang-petenteng tanpa kerja. Malu punya suami pengangguran akhirnya Sustinah minta cerai.
Suami yang baik haruslah bisa ngayani lan ngayeli pada istri. Ngayani adalah memberi jaminan ekonomi, sedangkan ngayeli adalah memberi nafkah batin. Dalam prakteknya, tak semua suami bisa menunaikan kewajibannya secara sempurna. Ada lho, seorang suami yang giat memberi nafkah batin, tapi tak pernah memberi uang belanja pada istri. Karena nganggur, suami selalu bergantung pada pemberian orangtuanya. Kalau tak ada jatah dari orangtua, istrinya tak bisa belanja.
Lelaki model demikian di antaranya Dedy, warga Kelurahan Nggak Tahu Ya Kecamatan Entah Berentah, di Surabaya. Dialah lelaki generasi milenial, yang maunya hidup enak tanpa berjuang. Tiap hari kerjanya di rumah hanya tidur dan main HP, atau kongkow-kongkow sama teman. Jika tak punya uang tinggal minta ke orangtua.
Kalau dia masih kuliah atau bujangan, masih mending. Tapi Dedy ini sudah punya istri, namun tidak mau mencari pekerjaan. Semua selalu mengandalkan orangtuanya yang pengusaha kaya. Sebab dia berfi kir, sebagai anak tunggal nanti kan semua harta orangtua diwariskan padanya. Jadi kenapa repot harus kerja, buang-buang energi saja!
Yang korban perasaan kan Sustinah selaku istrinya. Setiap minta uang pada suami, selalu dijawab nanti minta dulu pada bapak atau ibu. Ibarat Pemda, masak tak punya PAD (Pendapatan Asli Daerah), semua tergantung dari transveran dana APBN dari pusat. Jadi “bupati” rumahtangga model Dedy layak dipecat.
Sustinah sudah pernah punya gagasan seperti itu, lebih baik bercerai saja ketimbang punya suami seperti Dedy. Habisnya, tak pernah ngasih benggol dari hasil keringatnya, tapi bonggol dipasok terus setiap malam. Capek deh! Percuma dia mendorong suami untuk tak bergantung dari orangtua. Setiap disuruh cari kerjaaan, jawabnya selalu, “Memangnya gampang cari kerja?”
Ya sudah kalau begitu jadi politisi saja, saran Sustinah. Masuk partai sebentar, terus nanti ikut Pilwalkot kayak Gibran dari Solo itu lho. Tapi saran istrinya itu langsung dipatahkan dengan cepat, “Memangnya saya anak presiden, sehingga bisa ikut Pilwalkot lewat jalan tol?”
Begitulah Dedy, sudah males, sukanya ngeyel. Mending Dedy Miswar, dari main film dan sinetron bisa jadi Wagub Jabar. Lha kalau Dedy suaminya ini apa nilai tambahnya? Kecuali anak orang kaya, tak ada lagi. Padahal yang namanya harta jika tak pandai mengelola akan habis juga. Maka saking keselnya, dia suka menjuluki suaminya itu Dedy Kocluk!
Saking tak kuat menahan beban, belum lama ini Sustinah memberanikan diri ketemu mertua, untuk minta izin bercerai saja dari Dedy Kocluk. Tapi mertua melarang, apakah kurang bahagia punya suami Dedy? “Bahagia dari Hongkong? Putra bapak ini selalu bergantung pemberian orangtua, tak mau cari penghasilan sendiri.” Kata Sustinah saking kesalnya.
Sebetulnya omongan Sustinah terlalu berani pada mertua. Bapak mertua juga tak bisa apa-apa, karena ternyata Dedy anaknya memang kocluk (tolol). Maka akhirnya dia pasrah saja jika memang begitu keputusan Sustinah. Toh belum ada cucu ini, jadi tak perlu ada yang menjadi korban.
Dengan izin mertua dan restu orangtua sendiri, akhirnya Sustinah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surabaya. Tak jelas, apa langsung dikabulkan atau diminta berpikir ulang. Sebab biasanya alasan paling mudah untuk cerai adalah perselingkuhan atau kelainan alat seksual.