JAKARTA - Pada awal pandemi Covid-19 jumlah pasien rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan atau yang dikenal RSJ Grogol, sempat mengalami penurunan.
Pasalnya, akses keluar masuk rumah sakit saat pandemi Covid-19 baru merajalela di Indonesia, sempat dibatasi. Sehingga hal ini mempengaruhi jumlah pasien yang melakukan konsultasi, rawat jalan maupun rawat inap.
Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan Dr. Desmiarti SpKJ mengatakan, jumlah pasien orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mengalami penurunan sejak Maret hingga Juni 2020. Namun pada Juli 2020, jumlah pasien rawat inap justru mulai mengalami penambahan.
"Kita malah mengalami penurunan karena PSBB, jadi akses pasien kita yamg ke sini sangat terbatas. Kita juga untuk pasien rawat inap hanya yang emergency yang dirawat. Terus untuk pasien rawat jalan kita berikan keringanan kontrol dua bulan," ujar Desmiarti ditemui di ruangannya, RSJ Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta Barat.
"Bulan sekarang mulai mengalami peningkatan, pasien rawat inap dari yang dulu sempat turun hingga 70 pasien, sekarang sudah 150-160 pasien," sambungnya.
Tercatat, per Kamis (30/7/2020) ada sebanyak 166 ODGJ yang menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut. Padahal di bulan-bulan sebelumnya, jumlah pasien sempat berada di angka 50-60 pasien. Itu artinya, ada kenaikan mencapai dua kali lipat atau 100 persen. Sedangkan untuk pasien rawat jalan cenderung variatif, namun kini jumlahnya sudah mulai normal.
Meski begitu, beberapa pelayanan belum dibuka seperti sedia kala. Salah satunya untuk pelayanan terapi penunjang. Hal ini dilakukan agar protokol kesehatan dapat tetap dilakukan oleh pihak rumah sakit. Sehingga terjadi pembatasan akses keluar masuk terhadap para para tamu.
"Misalnya penerimaannya kapasitas terapi di satu ruangan bisa enam sampai 10 orang, sekarang kita batasi. Sehingga frekuensinya berkurang. Mereka harus jaga jarak, menerapkan protokol kesehatan. Kalau kegiataan yang daycare, segala macam, ada beberapa yang disyaratkan rapid test dulu. Untuk memastikan mereka masuk dalam keadaan sehat. Jadi memang berkurang tapi suda mendekati normal," jelas Desmiarti.
Sebagai informasi, daycare sendiri merupakan salah satu program rehabilitasi psikososial, yang berfungsi untuk melatih ODGJ yang sudah menyelesaikan pengobatannya untuk bisa mandiri sebelum kembali ke masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskan, penyebab para pasien yang dirawat di sana sangat lah bervariasi. Sebab, ada faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi seseorang hingga mengalami gangguan jiwa. Faktor internal yang dimaksud seperti kepribadian pasien, faktor biologis.
Meskipun mengalami problematika yang sama, kata Desmiarti, dampak terhadap psikis tiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang menghadapi putus cinta hingga mengalami gangguan jiwa. Namun ada juga yang menghadapi putus cinta tetapi baik-baik saja dan hanya mengalami stres saja.
"Berarti kita bisa liat, penyebab ODGJ engga cuma faktor eksternal tapi juga faktor internal orangnya. Itu berarti dipengaruhi faktor kepribadiannya dan faktor biologi diri sendiri, yang selama ini kita pahami sebagai neuro transmiter di otak itu fungsinya ada buat sedih, cemas, marah. Nah keadaan akan seimbang, naik turun, sesuai dengan kondisi perasaan kita. Ada kalanya turun drastis tapi tidak bisa kembali normal, atau turun drastis tapi butuh waktu lama atau turun drastis tapi membutuhkan terapi. Nah itu yang membuat orang gangguan jiwa," ungkapnya.
Terkait ada atau tidaknya pasien gangguan jiwa akibat bangkrut atau kehilangan pekerjaan saat pandemi Covid-19, Ia tak dapat memastikannya. Namun menurutnya, kasus seperti itu pasti ada saja.
"Kalau kita liat sih, ada aja ya masalah seperti itu, bahkan mungkin (pasien) yang sudah mulai tenang, kondisi mulai tenang, kambuh lagi karena kondisi seperti ini. Ada yang karena kecemasan meningkat. Tapi tidak terlalu banyak dibandingkan dengan pasien kita yang sudah gangguan jiwa atau perawatan," tuturnya.
Adapun gangguan jiwa memiliki tingkatan, dari gangguan jiwa ringan, sedang hingga berat. Umumnya, pasien dengan gangguan jiwa berat maka akan menjalani rawat inap. Sedangkan untuk pasien gangguang jiwa sedang, biasanya hanya menjalani rawat jalan. Tingkat gangguan jiwa pasien dapat diketahui setelah dokter melakukan serangkaian pemeriksaan awal terhadap mereka.
Tiap pasien ODGJ pun menjalani perawatan yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan tingkat ODGJ yang dialami oleh para pasien tersebut.
"Perawatannya pun kita bagi-bagi. Ketika dia baru masuk kita lakukan isolasi tersendiri, nanti setelah beberapa hari ada fase sosialisasi. Kemudian nanti dia pindah ke ruangan lebih tenang, sosialisasi ditingkatkan, kegiatannya semakin ditingkatkan. Hingga fase diperbolehkan untuk pulang," ucap Desmiarti.
"Kalau kita di sini sudah mulai menerapkan tidak lama ya (perawatan). Rata-rata tuga minggu, tapi bisa lebih lama, dan bisa juga lebih cepat," imbuhnya.
Ia mengungkapkan, pasien gangguan jiwa yang menjalani perawatan baik rawat jalan maupun rawat inap, kebanyakan dalam usia produktif yakni usia 20-30an tahun.
"Jadi kita punya layanan untuk anak, dewasa, dan 60 keatas, tapi yang paling banyak usia produktif, usia 20 - 30an. Dan biasanya itu saya bilang, awal awal gaduh gelisah, pertama kali episode dia muncul usia 20an bahkan ada yang 19an tahun," kata Desmiarti.
"Jadi itu menunjukkan pada saat-saat itu problema yang dia hadapi mungkin berat, perkembangan kepribadiannya, terkait dengan perkembangan hormonalnya juga," tambahnya.
Keluarga tak diperkenankan membesuk sementara
Selama pandemi Covid-19, pihak keluarga pasien gangguan jiwa yang dirawat di sana tak diperbolehkan dijenguk sementara.
Desmiarti menjelaskan, pihaknya pernah kecolongan di mana salah satu pasiennya dijenguk oleh anggota keluarganya. Namun ternyata, sebelum mereka menjenguk ada salah satu anggota keluarganya yang meninggal dunia karena Covid-19. Usai pihak keluarga menjenguk, pasien tersebut langsung mengalami demam. Beruntung setelah dilakulan swab test, pasien itu negatif Covid-19.
"Karena hal itu lah kita perketat aturan besuk. Soalnya waktu itu kan kita sebenernya juga udah engga boleh ada jenguk kan pas awal-awal kasus Covid-19 itu (di Indonesia), tetapi ternyata mereka bisa masuk dan begitu. Makanya kita engga mau sampai terjadi lagi. Pihak keluarga bisa ketemu kalau memang urgent sekali atau jemput, itu pun di luar ruangan," tegasnya.
Kebanyakan pasien berasal dari Jakarta Barat dan sekitarnya
Dikatakan, kebanyakan pasien berasal dari Jakarta Barat. Persentasenya bahkan mencapai 60-70 persen. Alasannya, sebagian besar pasien di sana merupakan pasien dengan asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS.
Sedangkan pasien lainnya berasal dari Depok, Bekasi, Serang dan Tangerang.
"Karena pasien kita kebanyakam asuransi JKN BPJS jadi tergantung sistem BPJS. Nah jadu sistem rujukan regional itu kita Jakarta Barat. Kalau Jakarta Timur mungkin ke Duren Sawit. Karena tergantug reginonalisasi," ucap Desmiarti. (firda/fs)