Oleh Harmoko
SERING dikatakan pangan adalah masalah utama suatu negara. Jika negara tidak atau kurang mampu mencukupi kebutuhan pangan, warganya atau rakyatnya akan rentan tergejolak.
Sebut saja gejolak harga dengan beragam penyebab. Satu di antaranya kurang persediaan stok pangan nasional. Belum lagi jika ditambah dengan tersendatnya pasokan. Situasinya bisa tambah runyam. Apalagi kalau politik "bermain" di belakangnya.
Itulah sebabnya isu pangan menjadi magnet perhatian semua kalangan. Apa pun profesinya.
Sedikit saja terjadi kenaikan harga sembako, komentar bermunculan mulai dari asisten rumah tangga, ibu rumah tangga, pegawai kantoran, wakil rakyat, pengamat hingga pejabat.
Begitu pun ketika terjadi impor pangan dari negara lain, lebih - lebih komoditas pertanian yang semestinya dapat dipenuhi di dalam negeri seperti beras, kedelai, bawang dan sayuran.
Karena itu siapa pun pemerintah yang sedang berkuasa, di negara mana pun dan kapan pun, wajib memprioritaskan komoditas pangan.
Maknanya, kedaulatan sebuah negara sangat bertumpu kepada swasembada pangan.
Menurut FAO ( Food And Agriculture - Lembaga Pertanian dan Pangan Dunia), suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Tentu, swasembada belumlah cukup. Suatu negara akan disebut atau menyebut diri berdaulat soal pangan, bilamana ditopang dengan ketahanan dan kemandirian pangannya.
Jika dijabarkan, ketahanan pangan mencakup aspek ketersediaan, akses pangan, pemanfaatan pangan dan kestabilan pangan dalam kurun waktu panjang. Walaupun syarat utamanya bukan
hanya tersedia cukup pangan, melainkan juga bagaimana negara mampu menciptakan suatu kondisi di mana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup. Pangan yang beragam, sehat dan bergizi. Pangan yang merata dan dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga rakyat benar-benar dapat hidup sehat, aktif, dan juga produktif secara berkelanjutan.
Ketahanan pangan dapat tercipta jika kita mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sampai di tingkat orang perorang.
Tentu, untuk itu bukan dengan mendatangkannya dari negara tetangga, tetapi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, organisasi dan kearifan lokal secara bermartabat. Itulah perlunya kemandirian pangan bagi suatu negara jika ingin berdaulat dalam soal pangan.
Jika tidak? Rakyat akan selamanya bergantung kepada negara lain melalui impor.
Sementara kita semua tahu, mengimpor pangan mengindikasikan suatu negara belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meski impor pangan dalam tataran tertentu harus dilakukan, tetap akan berdampak kepada produk dalam negeri, terutama pada komoditas yang sama. Dan yang paling terkena dampaknya tentulah para petani.
Kita meyakini pemerintah tidak ingin impor pangan karena ada risiko yang bakal dihadapi.
Kita tentu meyakini setiap negara di dunia bercita- cita mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.
Negeri kita sangat berpeluang menuju ke sana. Proses masih berjalan, kuncinya ada pada kita semua, maukah mewujudkannya? Bukan sebatas cita - cita, tetapi melalui karya nyata.
Dan, yang paling utama adalah sikap dan perilaku sehari - hari kita menghargai produk dalam negeri.
Menghargai berarti melanggengkan dan memperbanyak produksi lokal, kemudian mengonsumsinya.
Jangan kita ingin "daulat pangan" tetapi mengonsumsi beras luar negeri, sayur dan buah-buahan yang berlabel serba impor.
Sebagai negara agraris, kita memiliki potensi. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. (*).