RUPANYA banyak pejabat negara selaku pengguna anggaran asal main teken saja, meski proyek itu dimark up. Dan beruntunglah, Menhan Prabowo bukan pejabat negara yang mau mbathi. Kontrak alutsista senilai Rp 50 triliun dibatalkan karena dimark up!
Beberapa waktu lalu (6 Februari 2017) pernah terjadi saling bantah di DPR ketika RDP bersama Menhan Ryamizard Ryacudu dan Pangab Jendral Gatot Nurmantyo. Masalahnya, pembelian helikopter Agusta Westland 101 yang sudah dibatalkan Presiden Jokowi, ternyata tetap mendarat itu barang.
Gatot Nurmantyo merasa tak tahu menahu pembelian alutsista tersebut, sementara Menhan Ryamixard minta RDP dibuat tertutup saja, biar enak ketika buka-bukaan. Apa isi pembicaraan dalam RDP tentu saja jadi tak diketahui. Yang jelas, POM TNI sudah menetapkan 4 perwira sebagai tersangka dalam pengadaan heli AW 101. Diduga, ada kerugian negara sekitar Rp224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar.
Tak mau mengulang kejadian semacam itu, Menhan Prabowo baru saja membatalkan kontrak pembelian alutsista senilai Rp 50 triliun. Kata Hasyim Djojohadikusuma kepada pers, kakaknya tak mau terlibat pembelian alutsista yang berujung pada tindakan korup. Sebab di samping terjadi mark up, alutsistanya juga tidak cocok untuk Indonesia.
Uang tersebut lalu dikembalikan ke Kemenkeu, sehingga Sri Mulyani pun ikut kaget dibuatnya. Kaget karena di tengah serbuan Covid-19 ini masih ada juga oknum mau bermain. Dalam kesempatan lain Menkeu Sri Mulyani baru saja mengatakan, menteri dan lembaga apapun berkewajiban menjaga anggaran negara jangan sampai bocor.
Beruntunglah kita punya Menhan yang menjaga komitmen ketika membantu Jokowi dalam Kabinet Indonesia Maju. Tak mau mbathi (cari untung) meski sebagai pejabat pengguna anggaran punya peluang untuk itu. Tentu saja yang kecewa habis oknum penyusun anggaran, yang gagal menikmati selisih harga yang dibuatnya tersebut.
Presiden Jokowi berulang kali mengingatkan pada para pembantunya, agar cermat menggunakan dana APBN jangan sampai terjadi kebocoran. ICW di tahun 2014 pernah mengingatkan, jika APBN waktu itu bernilai sekitar Rp 1.800 triliun, maka kehilangan uang negara diperkirakan mencapai minimal sekitar Rp 180 triliun. Semoga prediksi semacam itu tak ada lagi. – gunarso ts