LPPOM MUI Bantah Adanya Mafia Pembuatan Sertifikasi Halal

Rabu 15 Jul 2020, 16:57 WIB
Direktur LPPOM MUI Dr Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, jelaskan soal proses sertifikasi halal. (ist)

Direktur LPPOM MUI Dr Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, jelaskan soal proses sertifikasi halal. (ist)

JAKARTA - Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) menepis adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal di instansi negara tersebut.

"Tuduhan dan anggapan akan adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal adalah  fitnah dan merupakan pencemaran nama baik MUI maupun LPPOM MUI," terang Dr Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, Direktur LPPOM MUI di Jakarta, Rabu (15/7).

Lukmanul menjelaskan proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela dan pendaftarannya dilakukan secara online dan transparan serta dituangkan dalam bentuk akad yang ditandatangani oleh pihak perusahaan,

Lukmanul menceritakan sertifikasi halal oleh MUI bermula dari penugasan pemerintah kepada MUI untuk meredakan kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988. Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom yakni LPPOM MUI pada 6 Januari 1989. Tugas utama LPPOM MUI adalah melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

"LPPOM MUI adalah bukan instansi atau lembaga pemerintah, maka dalam menjalankan amanah melakukan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," kata Lukmanul.

Ia mengatakan dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai lembaga pemeriksa halal, utamanya untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), LPPOM MUI kerap menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan.

Menurut dia, seperti halnya lembaga sertifikasi lain, misalnya sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya LPPOM MUI memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal, dengan besaran dan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad, jadi bersifat sukarela.

"Untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik," ucapnya.

Lukmanul menjelaskan biaya sertifikasi halal LPPOM MUI meliputi antara lain biaya pemdaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal. Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Online LPPOM MUI (Cerol SS 23000).

"Basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk. Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai (misalnya cukai minuman, rokok, dan sejenisnya).

"Sampai Juni 2020 LPPOM MUI telah mengeluarkan sebanyak 2.662 Sertifikat Halal bagi 2.180 perusahaan, dengan jumlah produk mencapai 125.703 produk. Artinya, biaya sertifikasi halal yang diterima oleh LPPOM MUI adalah berasal dari 2.662  sertifikat halal, bukan dari 125.703 produk," Lukmanul menandaskan.

Ia menerangkan sebagai lembaga halal, kinerja LPPOM MUI telah diakui secara nasional maupun internasional. LPPOM MUI telah mendapatkan sertifikat ISO 17065 untuk kategori Lembaga sertifikasi halal dari Badan Sertifikasi Nasional (BSN). (johara/ruh)

 

Berita Terkait
News Update