Pengalaman Dikarantina 14 Hari di Hongkong, di Hotel Mewah Tapi Terkungkung

Senin 13 Jul 2020, 10:36 WIB
Aminah, wanita WNI yang baru menjalani karantina 14 hari di Hongkong. (ist)

Aminah, wanita WNI yang baru menjalani karantina 14 hari di Hongkong. (ist)

JAKARTA - Tuntas sudah 14 hari karantina di Hongkong dijalani oleh wanita cantik asal Jawa Timur, Aminah (40). Pagi itu, Sabtu (11/7/2020) dia tinggal menunggu check out dari Grand City Hotel, Hongkong.  Ia menunggu rekan bisnisnya yang akan menjemput pukul 10.00 waktu Hongkong.

“Lega rasanya, 14 hari sudah aku lewati. Tinggal menunggu jemputan, jam 10.00 mau jemputnya,” kata Aminah,  yang menjalani karantina di hotel bintang lima nan menjulang di kota bekas jajahan Inggris itu.

Karantina 14 hari adalah saat-saat yang menyita banyak kebebasannya. Meski tidur di kamar mewah di hotel, kalau harus berhari-hari dikurung begitu, rasa bosan sudah pasti menghinggapi.

Setelah tuntas 14 hari, ia merasakan pengalaman yang benar-benar baru kali ini dia rasakan. Beberapa kali bepergian ke luar negeri, harus menjalani karantina baru pada tahun 2020 ini.

Aminah memaklumi, karena kondisi memang mengharuskan, di berbagai negara memang sedang pandemi Covid-19. Di setiap negara pasti memberlakukan hal yang sama.

Namun, baginya bukan masalah karantina itu saja yang membuatnya mendapat pengalaman mendalam. Pengalaman dalam rangkaian ini adalah mulai dari penerbangan dari Tanah Air, dari Juanda, Surabaya, transit di Soekarno Hatta, lantas pelayanan terkait Covid-19 di Bandara Internasional Hongkong.

TIKET KEBERANGKATAN

Manurut Amy, begitu sapaannya, saat mau terbang dari Juanda Surabaya, kendala banyak sekali. Pertama, soal tiket keberangkatan yang tertunda beberapa kali. Sebenarnya, ia sudah membeli tiket untuk terbang bulan April.

Beberapa hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba ada pengumuman penundaan, menyusul pengumuman pemerintah yang menutup akses transportasi baik dalam negeri maupun luar negeri.

“Mau apalagi, waktu itu saya ya harus menunggu pemberitahuan dari agen travel. Beberapa hari terus menghubungi travel, akhirnya mendapat jawaban, akan ada penerbangan ke Hongkong bulan depan, Mei,” katanya.

Begitulah, bulan Mei, jelang tanggal yang ditunggu, ternyata ada pengumuman penundaan lagi. Minta info ke agen travel kurang memuaskan, akhirnya dia mencari info sendiri. “Lama gak ada kepastian, saya cari info sendiri,” katanya.

Ia berjuang sendiri mencari tiket, menghubungi kantor perwakilan Garuda Indonesia di Madiun. Ada lampu hijau dari sana, tapi diberi penjelasan, harus menyerertakan persyaratan surat ini itu. “Yang pasti surat bebas dari virus corona, dibuktikan dengan surat dari rumah sakit yang ditunjuk,” ujarnya.

Selain itu, juga harus ada surat boleh berangkat dari Dinas Tenaga Kerja. Untuk mengurus yang satu ini, dia ternyata juga harus pontang-panting sendiri. “Soalnya, petugas di tingkat daerah, belum begitu nyambung dengan kebutuhan tersebut,” ujarnya.

Yang agak menyesakkan lagi, ternyata ada penundaan lagi. Infomasi yang ia dapat, baru bisa terbang pada Juni 27 Juni.

“Saya berharap-harap cemas. Alhamdulillah, akhirnya jadwal itu tidak diundur. Jadilah saya terbang. Pagi jam 10,00 WIB saya sampai di bandara Juanda, harus 5 jam sebelum terbang tiba di Bandara,” katanya.

MENUNGGU LAMA

Saat itulah, perjalanan melelahkan dimulai. Jam 13.30 pemeriksaan di bandara, cukup menyita waktu, lanjut boarding untuk keberangkatan pukul 17.00. “Di Juanda saja sudah melelahkan,” katanya.

Berikutnya, dia benar-benar masuk di pesawat terbang. Ternyata tidak penuh juga pesawat itu. Yang pesti semua mengenakan masker. “Pokoknya saya ikuti prosedur sajalah, gak mau ribet-ribet," katanya.

Tiba di Soekarno-Hatta Jakarta, dalam penerbangan satu jam lebih sedikit. Di Terminal 3, dia mengarah ke ruang tunggu ke luar negeri. Ia harus menunggu lama lagi, karena jadwal pesawat ke Hongkong pukul 01.30.

Penantian berjam-jam ini dia isi dengan berbagai cara, yang sudah pasti membuka-buka HP, dan telponan. Sempat pusing-pusing juga, dan repotnya semua obat dia taruh di koper di bagasi. “Beruntung ada orang yang berbaik hati memberi obat pusing. Lumayan,” katanya.

Para penumpang pesawat menunggu hasil tes Covid-19 di lokasi Komplek Bandara Hongkong. (ist)

Para penumpang pesawat menunggu hasil tes Covid-19 di lokasi Komplek Bandara Hongkong. (ist)

Ketika waktu tiba, ia mengaku langsung mematikan HP, dan entah gimana langsung bisa tidur lelap. Tahu-tahu sudah sampai Hongkong. “Mungkin saya terlalu lelah, jadinya langsung duduk dan tidur. Makanan di pesawat nggak sempat aku sentuh,” ujarnya.

Tiba di Hongkong sekitar jam 06.00 pagi waktu setempat. Dia dan seluruh penumpang Garuda Indonesia yang membawanya, diarahkan ke bagian Imigrasi. Pemeriksaan ya normal. Soal paspor dan visa.

“Yang berbeda kali ini, ditanya soal di mana tempat karantina, di rumah atau di hotel. Setelah semua jelas, semua digiring ke bus-bus yang mengangkut semua penumpang tersebut,” ujar Amy.

Ternyata dibawa ke ruangan besar untuk pemeriksaan kesehatan terkait Covid-19. Semua diberi formulir dan tabung kecil untuk ludah setiap orang untuk diperiksa lab. Di sini ada petunjuk praktis di layar TV. Selesai mengisi form, dan menuangkan ludah di tabung, semua diserahkan ke petugas.

Semua dilayani sangat baik. Selama menunggu dari hingga sore pelayanan ada makanan, tempat duduk ada jaringan listrik untuk charger HP. Tapi, karena waktunya lama perlu juga makanan lain, beruntung dia sudah mempersiapkan cemilan-cemilan.

“Kayaknya, kalau layanan begini di Hongkong mengerti banget soal kebutuhan kita. Makanan dan minuman juga ada diberikan tanpa membayar. “ Nggak tahu, apa di Indonesia juga ada kayak begini,” katanya.

GELANG BARCODE

Sore hari sekitar pukul 18.00 sudah selesai semua. Setiap orang diberi gelang dengan barcode, yang harus dipakai selama masa karantina. Ia punya cerita tersendiri soal gelang kertas dengan barcode ini. Menurut dia, barcode ini 'ajaib' jadi alat kontrol bagi kantor imigrasi Hongkong untuk memantau setiap orang yang menjalani karantina.

Gelang itu secara canggih menghubung ke HP via bluetooth, jadi di gelang itu ada semacam chip yang menyambung ke Imigrasi. Alat pemantau ini benar-benar akurat, kalau pemakainya pergi ke luar hotel, maka langsung ada peringatan via HP. “Canggih alatnya, di Indonesia sudah begitu nggak ya?” katanya.

"Kalau di sini, pakai gelang ini, kita jadi  terpantau terus, kita harus di kamar hotel terus. Saya juga gak berani melanggar, karena kalau melanggar kan dideportasi,” ujarnya.

MASA KARANTINA

Hal lain soal karantina adalah makanan. Orang di Hongkong dirasanya baik banget. Oleh rekan bisnisnya itu, dia dikirim banyak makanan kering yang tahan lama, juga ada makanan sesaat, seperti nasi dan lainnya.

Di hari-hari selama 14 hari masa karantina, soal makanan memang membuat kangen Tanah Air yang banyak jenis makanan. Tiap hari hanya mengandalkan roti dan makanan kering.

Meski sudah mempersiapkan soal karantiana itu, tapi tetap saja banyak yang tak bisa terpenuhi olehnya, yakni soal asupan makan yang segar. Sebab, tidak mudah untuk mendapatkan, bisa mencari-cari order lewat apalikasi online, tapi ternyata terbatas.

Maksudnya, kata dia, hanya satu dua yang menerima layanan uang tunai, kebanyakan hanya melayani yang menggunakan akun. “Saya kan orang luar Hongkong, jadi gak punya account situ,” ungkapnya,

Begitulah, hari-hari Panjang masa karantina, di kamar hotel seorang diri. Di hotel itu kebetulan juga banyak untuk karantina, maka semua sepertinya jaga diri. Baginya ruang kamar itu menjadi bersejarah. Mencuci dan menjemur baju di kamar, ngopi seadanya. HP adalah hiburan utama untuk membuang jenuh.

“Ketika masa karantina selesai, rasanya seperti waktu bulan puasa selesai, ada perayaan kecil, hehehe,” ujarnya sambil mengungkap beberapa celana di bagian perut terasa longgar. "Alhamdulillah, mungkin susut ya,” tambahnya yang berharap tak ingin menjalani karantina seperti itu lagi, sebab meski di hotel mewah, tapi terkungkung. (win/ys)

News Update