ADVERTISEMENT

Terkenal Hingga Pelosok Negeri, Kampung ‘Cawang Kompor’ Jejak Kejayaan Kompor Minyak

Rabu, 8 Juli 2020 16:37 WIB

Share
Terkenal Hingga Pelosok Negeri, Kampung ‘Cawang Kompor’ Jejak Kejayaan Kompor Minyak

CAWANG Kompor. Siapa yang tak kenal dengan wilayah yang berada di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur ini. Daerah ini sempat menjadi primadona, karena di tahun 1990-an jadi sentra pengrajin kompor. Kejayaan ‘kompor minyak’ berakhir ketika pemerintah mewajibkan masyarakat pakai kompor gas.

"Cawang kompor, cawang kompor!” Begitulah teriakan kenek bus, Metromini atau angkutan umum lainnya mengingatkan penumpang yang akan turun di ‘Cawang Kompor’. Sampai sekarang, nama ‘Cawang Kompor’ masih melekat di daerah tersebut.

Daerah ini dijuluki Cawang Kompor karena pada tahun 1990-an, masyarakat masih menggunakan kompor dengan sumbu dengan bahan bakar minyak tanah. Kawasan itu sangat terkenal ke seluruh penjuru negeri karena terkenal sebagai sentra penjualan kompor besar di Jakarta.

Saking terkenalnya, beberapa warga yang datang dari luar kota kerap menyempatkan diri berkunjung untuk membeli alat masak tersebut. Kios dan toko kompor berjejer di daerah tersebut.

Rahman (51), salah satu pengrajin mengatakan, pada 1955 orang Betawi di sini sudah memproduksi kompor yang dibuat di lapak-lapak. Kemudian, beberapa orang Cina dan Arab menyewa tempat dan membuka toko kompor. “Cerita orang-orang dulu seperti itu, makanya pada pintar-pintar bikin kompor,” kata Rahman, Senin (6/7/2020).

Sejak saat itu, kata Rahman, kawasan ini jadi berkembang dan disebut Kampung Cawang Kompor. Ia masih teringat suasana ramai yang tak berhenti saat masyarakat berbondong-bondong membeli kompor. “Karena banyaknya pembeli, keluarga saya dalam sebulan, pada masa itu, bisa memproduksi 3.000 kompor,” ujarnya.

Pelanggan terbesarnya, kata Rahman, adalah para pedagang panci dan kompor di pasar-pasar tradisional. Begitu pula, pabrik-pabrik roti, dan tukang kredit barang-barang rumah tangga tak henti-hentinya menjual produk yang mereka hasilkan. “Semua ngambil dari sini, istilahnya kita juga bikin kompor nggak ada capeknya, karena banyak yang beli,” kenangnya.

GARA-GARA KOMPOR GAS

Saat pedagang kompor sedang berjaya, petaka datang pada awal tahun 2000-an. Pemerintah mengeluarkan kebijakan agar masyarakat beralih menggunakan elpiji. Petaka pun datang. Kompor minyak yang diproduksi pengrajin harus terhenti. Hal ini menjadi pukulan telak yang harus dirasakan para pengrajin dan pedagang kompor. “Waktu itu kami sedih banget, rasanya kayak kena musibah,” ungkap Rahman.

Sejak saat itu, lanjut Rahman, tidak sedikit pedagang yang memilih menutup usaha. Tidak berimbangnya omzet dan biaya produksi, termasuk sewa bangunan, membuat sebagian pedagang gulung tikar. “Kalau yang bukan asli orang sini pada memilih pulang ke kampung halaman. Sebagian lagi beralih ke pekerjaan lain,” sambungnya.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT