Organisasi Perempuan Diminta Bersama-sama Mengawal RUU PPRT

Senin 06 Jul 2020, 04:30 WIB
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo

JAKARTA (Pos Kota)-Semua organisasi perempuan yang ada di Indonesia diminta bersama-sama mengawal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Keberadaan RUU tersebut sangat penting dan strategis sebagai bagian dari upaya melindungi pekerja perempuan.

Data JALA PRT menunjukkan jumlah PRT di Indonesia sekitar 5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 84 persennya adalah kaum perempuan.

“Itu artinya kaum perempuan berkepentingan dengan UU PPRT. Jadi kami mengajak semua pihak baik masyarakat umum maupun organisasi perempuan untuk mengawal lahirnya UU ini,” kata Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo dalam konferensi pers RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Menjelang Rapat Paripurna DPR RI yang digelar secara virtual Ahad (5/7/2020).

Diakui RUU PPRT sudah dibahas selama 16 tahun. Tetapi hingga kini tak kunjung disahkan menjadi UU PPRT dengan berbagai alasan.

Pada Rapat Baleg DPR RI tanggal 1 Juli 2020 menetapkan Draft RUU Perlindungan PRT diajukan ke Rapat Paripurna DPR RI Akhir Masa Sidang sekarang di pertengahan Juli 2020 untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI. Rapat paripurna DPR RI tersebut harus dikawal betul agar RUU PPRT segera disahkan menjadi UU PPRT.

“RUU PPRT harus dikawal terus, jangan sampai didrop lagi seperti yang sudah-sudah. RUU ini harus jadi prioritas DPR RI,” lanjut Giwo.

Diakui Giwo, Kowani telah mempelajari draft dari RUU PPRT. Intinya, RUU tersebut layak dan tepat untuk segera disahkan menjadi UU. Karena materinya sudah tepat dan tidak ada yang saling bertentangan atau memberatkan pihak lain.

Sementara itu, Mike Verawati, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan UU Perlindungan PRT  merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Indonesia. PRT juga bagian dari soko guru perekonomian lokal, nasional dan global. PRT adalah invisible hand yang selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.

Selama ini, fakta-fakta tentang PRT sangat memprihatinkan. Mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak, jam kerja panjang, beban kerja tidak terbatas, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan, cuti, tidak ada jaminan sosial, ada larangan atau pembatasan bersosialisasi, berorganisasi. Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari pembangunan,  PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga negara. PRT terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi  perbudakan modern dan rentan kekerasan.

Komnas Perempuan mencatat dalam kurun 3 tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan  April 2020 tercatat 1458 kasus kekerasan PRT  yang bisa dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap status  profesinya. Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.

“Jumlah kasus tersebut adalah data yang kami himpun berdasar pengaduan dari pendampingan di lapangan. Sementara PRT yang bekerja di dalam rumah tangga, tidak ada kontrol dan akses melapor dan bantuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini. (*/fs)

 

News Update