Bertemu Ketua MPR, Try Sutrisno: Empat Alasan Kenapa RUU HIP Perlu Diubah

Kamis 02 Jul 2020, 22:10 WIB
Wakil Presiden RI  ke-6 Try Sutrisno saat usai menyasampaikan masukan soal RUU HIP. (rizal)

Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno saat usai menyasampaikan masukan soal RUU HIP. (rizal)

JAKARTA -  Wakil Presiden RI  ke-6 Try Sutrisno bersama Purnawiran TNI mendatangi Pimpinan MPR RI untuk memberikan saran dan masukan terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Try meminta pimpinan MPR mengupayakan RUU HIP direvisi dari semula mengatur tentang haluan ideologi menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) setelah mendapat persetujuan dari para purnawirawan.

Demikian disampaikan Pak Try usai bersilaturahim dengan pimpinan MPR Bambang Soesatyo bersama para purnawirawan TNI sekaligus memberikan aspirasi mereka mengenai RUU HIP di Kompleks Parlemen, Kamis (2/7/2020).

"Dinamika tentang RUU HIP mencerminkan bahwa elemen masyarakat peduli atas falsafah dan ideologi. Pro kontra perlu kita pahami komprehensif dan bijaksana agar kohesif tidak terganggu," kata Try kepada wartawan.

Try menegaskan,  Pancasila merupakan norma yang mengatur norma lain di luar Pancasila. Selain itu, kata dia, Pancasila juga telah dijadikan ruh oleh pendiri bangsa ke dalam tubuh UUD 1945. Oleh sebab itu, Undang-undang tidak selayaknya mengatur mengenai falsafah Pancasila karena menyangkut asas negara.

Try bersama purnawirawan TNI mengatakan sepakat agar RUU HIP dilakukan perubahan, yakni direvisi menjadi RUU yang mengatur tentang pembinaan ideologi Pancasila. Dengan demikian, RUU yang baru bukan lagi mengatur soal haluan tapi implementasi dan pembinaan ideologi.

"Setelah mempelajari draft RUU HIP atau pembinaan ideologi dan dinamika masyakarat. kami sadari draft HIP perlu revisi beberapa pasal," katanya.

Try menerangkan ada empat alasan mengapa RUU HIP perlu diubah menjadi RUU PIP. Dia mengatakan salah satunya karena sejak era reformasi masyarakat telah berpaling dari wacana pembinaan ideologi Pancasila. Keadaan itu membuat Pancasila telah tidak hanya ditinggalkan, tapi juga ditanggalkan.

"Misal BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) bubar tapi enggak ada pengganti. Pelajaran Pancasila mulai dari TK sampai universitas tak lagi wajib," katanya.

Kedua, konsekuensi dari poin pertama mengakibatkan ideologi transnasional menjadi bebas masuk ke negeri ini. Paham seperti liberalisme, radikalisme, bahkan terorisme masuk dengan bebas sehingga tatanan ekonomi dikuasai pemilik modal.

"Demikian juga paham kekhalifahan, intoleransi dan terorisme yang dimotori HTI. Potensi paham komunis atau neokomunisme juga harus dicermati, diwaspadai terus menerus," jelasnya.

Ketiga, potensi ancaman poin kedua, menurutnya, semakin mengkhawatirkan seiring canggihnya teknologi dengan dominasi negara maju atas negara berkembang. "Jajahan tak melulu soal fisik tapi proxywar," ujarnya.

Berita Terkait

News Update